Alien adalah seorang perempuan yang perempuan kuat dengan kepercayaan diri yang tinggi,
namun ternyata dibalik itu Alien tetap punya cerita mengenai caranya menghadapi standard Cantik yang Kuno
“Tarik sedikit itu bajunya, biar nutupin pantat.”
Kalimat ini adalah kritik yang paling sering saya dengar dari ibu saya. Kritik ini ditujukan pada saya karena (menurut sudut pandang orang Indonesia) tubuh saya besar, sehingga saya memiliki bokong yang besar pula dan sebaiknya bokong saya ini ditutupi lagi dengan bagian belakang baju walaupun sebenarnya sudah ditutupi juga dengan celana yang (menurut saya) tidak ketat dan bukan legging.
Banyak orang bilang, ada dua jenis kritik yang dilontarkan orang lain: 1) kritik yang disampaikan dengan penuh cinta dan sifatnya membangun; dan 2) kritik yang disampaikan dengan tujuan untuk menjatuhkan. Dengan sepenuh hati saya, saya sangat yakin bahwa ibu saya menyampaikan kritiknya dengan penuh cinta kasih. Tapi di lubuk hati saya yang paling dalam, ternyata tetap saja ada rasa kesal yang tertorehkan.
Dari kecil, orang tua saya berusaha mendidik saya menjadi perempuan cantik versi kuno. Versi kuno maksudnya adalah perempuan bertubuh langsing, berkulit kuning langsat, dan berambut hitam panjang. Sebegitu meresapnya didikan orang tua tersebut, saya sempat memiliki cita-cita untuk menjadi Putri Indonesia. Saya sendiri sama sekali tidak mengingat pernyataan cita-cita saya itu, yang mengindikasikan bahwa cita-cita itu mungkin terbersit saat saya berumur 3 atau 4 tahun. Namun, menurut cerita orang tua saya, beberapa anggota keluarga besar, dan beberapa teman-teman orang tua saya, keinginan saya untuk menjadi Putri Indonesia itu benar adanya dan sempat menghibur segelintir khalayak.
Ketika saya duduk di bangku kelas 3 atau 4 SD, ibu saya tiba-tiba menyodorkan sebuah botol lotion pemutih. Di dalam botolnya tertera tulisan “untuk menjadikan kulit kuning langsat”. Menurut ibu, kulit saya sudah terlalu hitam karena terlalu sering bermain di luar rumah saat matahari sedang terik-teriknya. Jadi, sudah saatnya saya menggunakan lotion pemutih kulit. Saya terima botol tersebut dan saya simpan di kamar. Seingat saya, saya hanya menggunakan lotion tersebut sebanyak satu kali, setelah itu saya berhenti dan botolnya terlantar begitu saja. Saya berhenti menggunakan si lotion karena waktu yang saya habiskan untuk melumuri badan saya terlalu banyak. Jadi waktu itu saya berpikiran bahwa menghabiskan waktu tambahan sekitar 5 menit untuk melumuri badan denganlotion setiap hari adalah waktu yang terbuang sia-sia.
Sebulan telah lewat sejak ibu menyodorkan botol lotion itu pada saya. Ibu kemudian bertanya, apakah lotion sudah habis? Kalau sudah habis, akan ibu belikan lagi. Saya lalu panik karena lotion dalam botol baru berkurang sedikit. Tanpa bisa saya tutupi, ibu melihat botol lotion dan menyadari bahwa saya tidak menggunakannya. Saya lalu kena marah. Salah satu kalimat ibu yang saya ingat adalah, “memangnya gak mau punya kulit kuning langsat? Kulit cantik?” Saya hanya bisa tunduk mendengarkan kemarahan ibu, tapi dalam hati saya menjawab, “enggak karena itu enggak penting.” Sebelum kalender berganti bulan lagi, saya akhirnya menghabiskan lotion, bukan dengan cara dilumurkan di badan, tapi dengan saya tumpahkan isinya ke lantai dan saya berpura-pura main seluncur es di lantai yang licin tersebut.
Ternyata yang ketakutan dengan anaknya berkulit hitam, karena terlalu banyak bermain di bawah terik matahari, bukan cuma orang tua saya saja, tetapi semua orang di lingkungan sekitar saya. Saya ingat sedang bermain masak-masakan di luar rumah seorang teman saya waktu SD. Ayahnya pulang dari kantor dan berteriak pada teman saya, “Ayo, ingat kan apa kata Bapak? Apa mau kulitmu hitam? Jangan main di tempat panas, nanti jadi tidak cantik loh! Mau jadi tidak cantik?”
Saya masih ingat bahwa saya sangat kaget mendengar kalimat tersebut.
Semakin modern zaman dan semakin tua umur Bumi, standar cantik versi kuno ini tidak pernah mengalami revisi. Akibatnya, saya harus menikmati berbagai kritik tipe 2, kritik yang sifatnya menjatuhkan, sepanjang hidup saya.
“Kulit muka kamu seperti kulit jeruk, pori-porinya besar sekali!” (1998-1999)
“Alien jadi Tergendut!” (2000-2001)
“Pantat yang paling besar… Alien!” (2003)
“Dada kamu kecil ya, apalagi kalau dibandingkan dengan ukuran badan kamu.” (Seumur hidup)
“Kalau orang gendut tidak pantas rambut pendek!” (Seumur hidup)
“Ya ampun! Hitam banget! Kusam gitu warna kulitnya! Kenapa bisa begini?” (Setiap habis liburan)
“Saya kira tidak ada lagi perempuan yang lebih besar badannya dari kamu.” (2014)
Untungnya, walaupun kedua orang tua ingin saya terlihat cantik versi kuno, mereka masih sempat mengajarkan agar saya menjadi wanita kuat dengan kepercayaan diri yang tinggi. Mereka juga tidak lupa menyisipkan pentingnya penggunaan otak dan logika dalam kehidupan sehari-hari sehingga hati dan perasaan saya tidak mudah terluka.
Ajaran kedua orang tua saya inilah yang membuat saya menghiraukan segala macam hinaan yang saya dengar. Tanpa saya sadari, ternyata yang saya hiraukan hanyalah sebagian. Kritik yang sifatnya menjatuhkan, yang menerpa saya seumur hidup ini, tetap ada yang masuk ke dalam hati, menorehkan luka, dan menyakiti perasaan saya. Luka ini tersembunyi di lubuk hati terdalam dan tidak saya ketahui keberadaannya hingga seseorang menunjukkan rasa sayangnya pada saya.
Pada suatu hari, tanpa saya minta, saya mendapatkan pujian mengenai tubuh dan penampilan fisik saya. Pujian itu datang dari seorang laki-laki yang baru pertama kali saya temui. Katanya saya cantik sekali, badan saya seksi, dan kalau bisa dia ingin sekali menjadi pacar saya. Pada kencan pertama kami itu, saya hanya tertawa-tawa. Dasar lelaki gombal, begitulah pemikiran saya. Namun pujian-pujian darinya tidak henti-hentinya datang. Dia seperti sangat terpana dengan penampilan saya.
Saat si lelaki melontarkan puji-pujiannya, saya merasa biasa-biasa saja. Senang tentu saja, tapi saya tidak merasa bahagia seperti dilempar ke surga. Saya tidak pernah membayangkan bahwa puji-pujian si lelaki bisa memberikan efek yang begitu besar pada hati dan perasaan saya.
Efek ini baru saya rasakan setelah saya menceritakan tentang puji-pujian si lelaki itu pada seorang teman. Layaknya curhat pada sesama perempuan, cerita saya kali itu cukup penuh dengan luapan emosi. Ketika saya mengulangi kalimat-kalimat pujian yang diberikan si lelaki, tanpa terasa kedua mata saya berkaca-kaca dan kemudian basah. Saya menangis terharu karena baru saat itulah saya menyadari bahwa puji-pujian si lelaki yang tulus tersebut menyentuh hati saya yang terdalam. Si lelaki telah menunjukkan bahwa dia tidak hanya menerima saya dan seluruh kekurangan fisik saya, tapi dia juga menghargai, bahkan mengagumi saya. Tanpa saya sadari, puji-pujian si lelaki ternyata menyentuh hati saya yang paling dalam dan menyembuhkan luka-luka yang hati saya rasakan akibat terpaan kritik yang menjatuhkan, yang telah saya alami seumur hidup.
(Sayangnya, karena satu dan lain hal, saya dan si lelaki ini tidak dapat bersama. Sungguh sayang memang, tapi kalau tidak jodoh, manusia bisa apa?)
Semenjak kenal dengan si lelaki itu, saya jadi lebih memperhatikan dan menghargai seluruh pujian yang ditujukan pada penampilan fisik saya. Memang belum banyak dan mungkin kebanyakan pujian hanya saya anggap sebagai angin lalu karena saya tidak terbiasa mendengarnya. Tapi perlahan-lahan saya mencoba mendokumentasikannya dalam hati. Kadang kalau saya sedang gundah, saya buka kembali catatan-catatan kecil berisi pujian-pujian tersebut. Berikut ini adalah segelintir pujian yang saya ingat dan masih membuat kedua pipi saya memerah.
“Untuk apa kamu pakai stoking? Warna kulit kamu sudah sangat sempurna!” (2012)
“Kamu tahu tidak apa yang membuat saya tertarik dengan kamu? Pantat kamu! Seksi banget!” (2015)
“Kamu cantik sekali!” (2015)
“Muka kamu tuh… Aduuuuhhh… Cantik! Lucu! Gemes!” (2015/2016)
“Tubuh kamu sempurna!” (2015)
“Kenapa sih kamu ingin turun berat badan? Kamu tuh seksi berisi seperti ini!” (2016)
“Kamu terlihat cantik difoto ini.” (2017)
“Kamu kok jarang memasukkan selfie ke sosial media? Kamu tahu kan kalau kamu itu cantik? Jangan pernah pikir kalau kamu tidak cantik!” (2017)
Salah satu pujian yang paling sakti bagi saya adalah sebuah pujian dari ibu. Waktu itu ibu tiba-tiba mengintip ke dalam kamar dan melihat saya yang sedang berdiri di depan cermin tanpa busana. Ibu bilang, “Tubuh kamu itu seksi juga ya. Hampir seperti gitar Spanyol.”
Mendengar pujian itu, saya kehilangan kata-kata. Walaupun ibu kemudian melanjutkan komentarnya dengan, “Coba kamu diet, perut kamu lebih kecil, jadi deh badan gitar Spanyol yang sebenarnya,” saya tidak peduli. Ibu yang masih percaya dengan standar cantik versi kuno telah memuji bentuk tubuh saya dan hal itu cukup untuk membuat saya terbang hingga langit ketujuh.
Beginilah perjuangan saya menghadapi kritik masyarakat umum mengenai cantik versi kuno. Setiap saya mendapatkan sebuah kritikan yang sifatnya menjatuhkan, saya membuka kembali daftar pujian yang sudah saya simpan dalam hati. Saya rasa hal ini sangat mudah untuk dilakukan dan tidak membutuhkan usaha yang besar. Saya sungguh percaya bahwa satu komentar negatif bisa dikalahkan dengan sebuah tanggapan positif yang apresiatif.
Saya yakin banyak perempuan lain yang juga berjuang menghadapi terpaan kritik karena kondisi fisik mereka yang tidak masuk ke dalam kategori cantik versi kuno. Kenyataan ini memang sungguh sangat disayangkan dan perjuangan ini berlangsung seumur hidup, bukan hanya sehari-dua hari. Mungkin cara saya terlihat klise dan tidak konkret, tetapi cara ini adalah cara termudah yang sudah terbukti dapat membantu saya membangun kepercayaan diri saya, sehingga saya kini tidak ikut terjerumus dan mempercayai definisi cantik versi kuno.
Kalau cara saya yang sederhana ini dapat membantu sesama perempuan, saya senang sekali. Tapi saya sadar bahwa perjuangan untuk merevisi definisi cantik versi kuno ini adalah sebuah perjuangan yang sangat personal dan setiap perempuan harus menemukan caranya masing-masing. Semoga semua perempuan bisa lebih percaya diri dan lebih bersemangat utuk mematahkan definisi cantik versi kuno, sehingga semua perempuan bisa selalu merasa cantik, tanpa memedulikan berbagai kekurangan fisik yang ada.