Saya lahir dan dibesarkan di Bandung. Saya sangat beruntung memiliki hubungan keluarga yang erat dan orang tua yang mendidik saya dengan sangat baik. Salah satu dari hal yang mereka tanamkan kepada saya dan kakak adalah betapa pentingnya untuk memiliki mimpi, disertai dengan kerja keras untuk mencapai mimpi-mimpi tersebut.
Sejak kecil, saya punya impian untuk belajar di luar negeri agar bisa hidup mandiri. Ternyata, mengejar mimpi itu tidak semudah yang saya bayangkan. Biaya kuliah di luar negeri tidaklah sedikit. Setelah berbagai pertimbangan dan mencari informasi, saya memutuskan untuk kuliah di Malaysia.
Dari semester awal, saya sudah mempunyai impian lain, yaitu melanjutkan S2 tanpa dibiayai orang tua. Apalagi, begitu tahu bahwa banyak program beasiswa. Oleh sebab itu, saya belajar dengan giat, dengan harapan saya bisa membuka peluang untuk saya mendapatkan beasiswa untuk S2.
Tiga tahun sudah berlalu, dan saya mendapatkan gelar sarjana saya dalam bidang akuntansi dan finansial, dengan hasil yang baik. Saya segera melamar ke berbagai perusahaan–dari perbankan hingga kantor konsultan. Lalu, salah satu senior kuliah saya, memberikan informasi mengenai lowongan pekerjaan di perusahaan tempat dia bekerja di Singapura. Tentunya, saya mendengar bahwa kehidupan kerja di Singapura cukup keras, tapi sepadan karena gaji yang relatif tinggi. Ini berarti saya bisa membiayai diri sendiri tanpa menyusahkan orang tua.
Saya pun mendapatkan pekerjaan di Singapura dan dengan sangat excited saya berangkat ke sana untuk bekerja. Namun, ada perasaan takut untuk menghadapi fase hidup yang baru di negeri orang dan keluar dari comfort zone saya. Akan seperti apa kehidupan saya di sana?
Saat itu, usia saya masih 22 tahun. Transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja; bekerja sendiri di negeri orang; menghadapi culture shock… Semua itu saya alami begitu cepat. Tuntutan dan intensitas pekerjaan saya sangat tinggi, karena atasan mengharapkan semua pekerjaan sempurna. Selain itu, karena tim kami multi-cultural, kolega saya banyak yang berasal dari kebudayaan di mana mereka terbiasa untuk mengutarakan pendapat mereka. Sedangkan, saya yang melewati pendidikan yang menekankan bahwa mengutarakan pendapat bukanlah sesuatu yang diapresiasi, akhirnya tidak mampu mengutarakan pendapat saya sendiri.
Saya juga mengalami kesulitan dalam masalah bahasa. Semua kolega di kantor sangat fasih dalam berbicara dan menulis laporan menggunakan Bahasa Inggris yang formal. Saya dapat berbicara dan menulis bahasa Inggris, tapi lebih kepada tujuan percakapan sehari-hari. Saya ingat bahwa salah satu manajer saya memanggil saya untuk memberikan feedback bahwa cara saya menulis laporan di bawah standar mereka. Selain itu, saya dinilai sangat diam, sehingga mereka tidak yakin apakah saya mengerti mengenai pekerjaan saya. Intinya, mereka tidak puas dengan kinerja saya.
Tentunya hal ini membuat saya tertekan. Saya merasa saya ini begitu bodoh dan tidak kompeten sama sekali. Dunia pekerjaan ini pun penuh dengan menulis laporan, dan tidak terlalu bermain dengan angka. Sedangkan, saya menyukai angka yang merupakan sesuatu yang pasti—hitam dan putih. Sebaliknya, bidang ini adalah abu-abu dan membutuhkan kemampuan menulis laporan dengan baik.
Untungnya, saya memiliki keluarga yang sangat suportif. Keluarga saya mengatakan bahwa ini adalah masa transisi dan mereka memberikan semangat untuk tidak menyerah. Ibu saya mengatakan pada saya, bahwa anaknya adalah orang yang kuat yang tidak akan menyerah begitu saja.
Ingin rasanya saya menyerah saja. Akan tetapi, dengan semangat dari orang-orang yang dicintai, saya menguatkan diri, dan malah saya berjanji akan membuktikan bahwa saya harus berkembang dan menjadi lebih baik. Selama tiga bulan, saya mulai mempelajari cara menulis dalam bahasa Inggris yang baik, dan mencoba untuk memenuhi ekspektasi mereka. Saya pun mempelajari detail-detail pekerjaan saya, meskipun pada akhirnya jam kerja saya menjadi lebih lama dibandingkan teman-teman di kantor. Ternyata, usaha saya membuahkan hasil, dan manajer saya berkata bahwa pihak kantor senang dengan kinerja saya.
Saya menemukan hal lain selama proses adaptasi itu. Saya yang dulunya hanya berpikir hanya bisa menikmati pekerjaan yang berhubungan dengan angka, menjadi mengerti bahwa saya mampu merasakan hal yang sama ketika menulis laporan. Saya pun perlahan mengembangkan kemampuan dalam bidang lain, yaitu menulis, terutama dalam bahasa Inggris yang formal.
Dua tahun berlalu, dan saya berpikir untuk kembali ke Indonesia. Tuntutan kerja yang cukup keras membuat saya kelelahan. Terus terang, saya tidak bahagia. Namun, saya juga masih mempunyai impian untuk S2 di luar negeri, dan apabila saya bekerja di Singapura, saya bisa menabung dan membiayai diri sendiri untuk kuliah.
Atas informasi seorang teman kerja yang menyebutkan program beasiswa di Belanda, saya pun mencoba melamar ke sana. Saya berhasil masuk dengan beasiswa, walaupun tidak penuh. Untungnya, saya sudah menabung selama bekerja di Singapura. Setelah hampir empat tahun saya bekerja di Singapura, akhirnya saya melanjutkan kuliah S2 di Belanda (yang juga cukup menegangkan karena kembali keluar dari comfort zone).
Setelah lulus kuliah S2 di Belanda, saya kembali untuk bekerja di Indonesia. Saya sempat mendapatkan pekerjaan di sana, tapi akhirnya saya tolak. Saya sudah cukup lama jauh dari keluarga dan saya ingin berkontribusi di tanah air.
Setelah merefleksikan kembali cerita ini, saya merasa bersyukur untuk pengalaman hidup yang saya dapatkan.
Saya mungkin sudah menyerah dan tidak akan mencapai semua ini apabila saya tidak memegang erat mimpi saya. Pada akhirnya, saya melihat betapa mimpi telah menjadi kompas dan arahan untuk hidup saya . Mimpi memberikan kita kekuatan untuk melewati keadaan dan masa sulit, karena kita ketahui bahwa ada cahaya yang kita tuju di akhir dari lorong yang terkadang gelap.
Kompas itu telah memandu saya keluar dari comfort zone di mana di sanalah justru pribadi saya lebih terbentuk dan mendapat pengalaman-pengalaman yang berharga. Saya yang dulunya kaku, pendiam, dan selalu menunggu untuk diajak bicara pun perlahan belajar untuk memulai pembicaraan, apalagi dengan orang-orang baru. Sebab, saya sendiri sudah pernah merasakan menjadi seseorang yang kurang nyaman dengan lingkungan barunya.
Maka, yang bisa saya lakukan untuk sedikit membantu mereka lebih nyaman adalah bertanya terlebih dahulu agar mereka merasa diterima.
Pada akhirnya, mimpi saya justru membuat saya menemukan hal-hal baru. Pembelajaran dalam hidup tidak pernah berhenti; saya pun belajar untuk mempercayai diri sendiri dan berefleksi ketika saya ragu. Semua itu menjadi sangat berharga dan tidak dapat diukur oleh materi.
Penulis: Adinda Soediono
Editor: Ala