Nama saya Wina. Saya seorang ibu dari 1 anak dan bekerja di perusahaan fashion retail Jepang di Jakarta. Saya bergabung di perusahaan ini sejak tahun 2012 dan merupakan bagian dari pioneer batch yang membuka toko pertama di Indonesia. Saya lahir dan besar di Bandung sampai lulus kuliah, kemudian bekerja dan membangun keluarga di Jakarta.
Pada tahun 2013, saya dan suami memutuskan untuk menikah pada akhir tahun 2014. Kami memang sudah lama bersahabat dekat sebelum memutuskan menjadi pasangan, sehingga kami tahu kami akan menikah, hanya tinggal tunggu waktu saja. Sebulan setelah menikah, tanpa disangka saya langsung hamil. Waktu itu saya dan suami memang masih ragu apakah ingin menunda kehamilan atau tidak. Walaupun hati saya lebih berat untuk menunda, akhirnya kami memutuskan untuk tidak mencegah karena alasan personal. Tentu saja kehamilan ini sangat mengejutkan, karena kami masih belum menyesuaikan diri hidup berdua, saya yang masih semangat kerja, dan suami yang pekerjaannya mengharuskan dia sering pergi ke lapangan yang merupakan daerah terpencil dengan jangka waktu lama dan tak menentu. Saya panik dan menangis melihat hasil test pack lalu menghubungi suami saya dengan sinyal terbatas sambil berkali-kali bilang bahwa saya belum siap hamil. Pada saat itu suami sangat senang dan menenangkan saya untuk menunggunya pulang.
Benar saja, reaksi awal hanya terjadi karena saya panik. Setelah suami pulang dari lapangan, kami sama-sama ke dokter untuk USG dan rasa sedih dan panik berubah jadi rasa bahagia luar biasa. Saya sangat bersyukur diberkahi dengan kehamilan yang sangat mudah. Tidak ada mual, muntah, lemas, ataupun ngidam. Saya masih berkegiatan seperti biasa, kerja, lembur, menyetir, bahkan naik turun tangga di parkiran kantor 5 lantai karena tidak ada lift. Selama kehamilan pun suami masih cukup sering pergi ke lapangan, yang menyebabkan saya tinggal sendiri di rumah. Pembantu hanya pulang pergi di pagi hari. Saya mengambil cuti di minggu ke-38 kehamilan, 2 hari sebelum melahirkan. Di hari persalinan pun saya tidak ditemani suami karena persalinan sangat lancar dari proses pembukaan awal sehingga suami tidak sempat mengejar kelahiran dari Jakarta. Saya merasa bersyukur dengan proses kehamilan dan persalinan yang tergolong mudah.
Wina dan suami pada masa kehamilan
Masalah mulai datang setelah saya melahirkan. Baran memiliki masalah saat latch on pada saat menyusui, di mana dia selalu menolak disusui secara langsung. Sebagai ibu baru yang masih sangat bingung, saya mencoba untuk memompa ASI. Namun saya kurang pengetahuan mengenai teknik memompa, seberapa sering saya harus memompa, dan takaran minumnya. Akibatnya Baran menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, yang sama sekali tidak saya sadari sampai hari ke-7. Mata Baran pada saat itu berwarna kekuningan, dia selalu lemas dan tidur dan ada bercak berwarna oranye pada popoknya. Saya lalu merasa ada sesuatu yang tidak beres. Berdasarkan feeling saya, kami langsung membawanya ke UGD. Ketika dibawa ke UGD, bilirubinnya sudah mencapai angka 22, di mana angka 25 sudah bisa menyerang syaraf dan menyebabkan kerusakan permanen. Terlambat satu hari saja, maka akan berakibat fatal baginya. Sampai detik ini saya masih sangat menyesal dan selalu berpikir ibu macam apa yang membiarkan bayinya mengalami ini karena saya ingin menyusuinya tanpa pengetahuan yang cukup. Saat itu pilihannya adalah transfusi darah atau disinar, untungnya pada saat itu Baran masih bisa bertahan dengan disinar saja selama 3 hari. Malam itu saya mencoba memompa ASI di ruangan NICU sambil menangis tengah malam sementara suami kesana kemari mencari donor ASI.
Saat Baran berada di NICU, kami kalang kabut mencari donor ASI karena ASI saya tidak mencukupi. Lagi-lagi kami beruntung mendapatkan stok ASIP yang cukup dari beberapa kerabat dan teman. Hampir setiap malam saya menangis habis-habisan ke suami dan menyalahkan diri sendiri karena kurang membekali diri untuk menyusui. Suami hanya diam mendengarkan, lalu memeluk dan menenangkan saya, bahkan ketika saya mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya saya ucapkan karena terlalu stress. Ketika Baran keluar dari rumah sakit, masalah belum selesai. Beberapa hari saya mencoba menyusuinya secara langsung, dia selalu menolak sambil mendorong dan menangis kencang. Lagi-lagi saya merasa gagal sebagai ibu. Setiap dia menangis, saya ikut menangis juga. Berbagai cara sudah saya coba mulai dari skin to skin sampai konsultasi ke konselor laktasi, namun tetap kurang membuahkan hasil. Saya memang berusaha tidak ngotot, tapi saya tidak mau merasa lebih gagal lagi. Ketika akhirnya saya nyaris menyerah, di suatu siang ketika saya mencoba menyusuinya, tiba-tiba Baran mau dan bisa latch on. Prosesnya begitu cepat dan tidak sakit sama sekali. Saat itu saya menangis bahagia dan sejak saat itu, Baran selalu bisa menyusui secara langsung. Dua minggu pertama kehidupannya adalah dua minggu terpanjang dalam hidup saya.
Baran saat di NICU
Empat bulan kemudian setelah cuti hamil selesai, kami pindah ke Jakarta. Tinggal hanya bertiga ditambah 1 babysitter merupakan tantangan yang baru. Saya harus langsung bekerja full time dan menitipkan Baran di rumah kerabat suami bersama babysitter karena tidak berani meninggalkan sendiri di rumah. Di tambah jadwal suami ke lapangan yang cukup lama (2 minggu sampai sebulan), seringkali membuat saya merasa kesepian. Walaupun dengan support babysitter, tapi saya tetap merasa kewalahan mengurus rumah, Baran, pekerjaan, dan hal-hal lainnya tanpa suami. Seringkali saya merasa iri dengan teman-teman saya yang suaminya selalu ada, bahkan saya iri kepada teman-teman yang juga ditinggal suami namun masih tinggal bersama orangtua. Saya merasa berjuang sendirian, di saat yang sama saya juga kewalahan menghadapi tugas kantor dan banyak menyusahkan atasan dan kolega saya. Ketika ingin berkeluh kesah kepada suami, saya tidak bisa menghubunginya karena kendala sinyal di daerah yang terpencil. Sedangkan untuk mengadu kepada orang tua saya rasanya tidak sanggup. Saya dan suami berkomitmen sebisa mungkin tidak mau menyusahkan orang tua setelah menikah. Walaupun suami sebisa mungkin mendukung kapanpun dia bisa, saya sudah terlanjur merasa negatif dan seringkali menyalahkan dia, walaupun sangat tidak adil bagi suami.
Setahun pertama saya menjadi ibu, saya belum bisa menerima kondisi saya menjadi ibu yang seperti ini. Saya belum bisa menerima bahwa saya tidak bisa bekerja secara maksimal dan mengurus rumah tangga dengan maksimal. Rasanya semua yang saya lakukan seperti setengah-setengah. Di kantor tidak, di rumah pun tidak. Saya merasa lost karena sepertinya saya bukan ibu yang baik dan bukan pekerja yang baik. Saya merasa seperti bukan diri saya sendiri. Saya pun menjadi marah dengan keadaan. Saya marah karena tidak pernah membayangkan ada di situasi ini, saya marah karena hidup saya berubah secara drastis dalam waktu singkat dan dunia terasa seperti terbalik, saya marah karena saya tidak bisa menjalani hidup saya seperti dulu, saya marah karena saya merasa sendirian, bahkan saya marah melihat ibu-ibu baru lainnya yang sepertinya sangat menikmati peran barunya sementara saya tidak.
Situasi ini terus-terusan berlangsung dan membuat saya cenderung murung dan menyalahkan diri saya sendiri. Bukan hanya itu, saya juga melampiaskan kekesalan saya ke orang-orang yang paling saya cintai, suami dan anak. Sampai saya mencari tahu bahwa apa yang saya rasakan ternyata bukan sekedar baby blues, melainkan postpartum depression (PPD) karena berlangsung lama sejak melahirkan.
Untuk mengakui bahwa saya mengalami depresi sangat sulit dan butuh waktu, apalagi untuk menerima keadaan. Saya takut dengan anggapan orang-orang bahwa ibu yang mengalami PPD itu berlebihan, bahwa semua ibu pasti mengalami kesulitan tapi tidak perlu sampai depresi, sampai bahwa ibu yang mengalami PPD tidak sayang kepada anaknya. Saya sadar bahwa keadaan saya akan berdampak langsung terhadap anak, suami, dan rumah. Akhirnya saya mencari bantuan untuk masalah ini dan bergabung ke dalam salah satu support group ibu di Jakarta. Di sana saya bisa mencurahkan semua yang saya rasakan dan sama sekali tidak ada diantara anggota komuniatas itu yang men-judge saya, karena semuanya mengalami perasaan yang sama. Dari sana juga saya mulai belajar ikhlas menerima keadaan ini dan berusaha mencintai diri saya yang sekarang. Saya bersyukur memiliki keluarga kecil yang sangat menerima dan mendukung saya, anak yang lucu dan pengertian, pengasuh anak yang dapat diandalkan dan kami anggap seperti bagian dari keluarga, dan terutama suami yang selalu memecut saya untuk jadi ibu, istri, dan manusia yang lebih baik lagi. Suami termasuk orang yang menguatkan saya dengan caranya sendiri. Saya tidak dimanja, bahkan ketika saya merasa sudah tidak sanggup lagi mengurus anak sendirian di Jakarta sambil bekerja, dia hanya mendengarkan lalu menyemangati saya dan bilang bahwa dia percaya sepenuhnya kalau saya pasti bisa. Kepercayaan dari suami untuk saya meng-handle rumah tangga dan mengambil keputusan lama kelamaan membuat saya percaya diri.
Keadaan berangsur-angsur membaik. Di akhir tahun 2016, setelah mempertimbangkan baik-baik dan dengan restu suami akhirnya saya memutuskan untuk resign dari tempat kerja. Walaupun perekonomian keluarga kecil kami akan timpang, tapi kami berdua sudah ikhlas. Keadaan kami terutama pekerjaan memang belum mengijinkan saya untuk bekerja sambil mengurus anak. Ketika mengajukan pengunduran diri ke kantor, pihak HR mengajukan penawaran yang tidak akan saya lupakan: bekerja part time. Jujur saya sangat terkejut mereka cukup concern dengan keadaan saya sebagai working mom dan berusaha untuk mencarikan jalan keluar bagi permasalahan saya. Akhirnya saya menyetujui jadwal kerja yang baru selama 4 hari seminggu dan 4 jam sehari, dengan beban kerja yang disesuaikan.
Dari awal saya kembali dari maternity leave, saya cukup getol memperjuangkan hak-hak ibu bekerja di kantor. Saya mengajukan pengadaan nursery room untuk memompa ASI di waktu kerja dan meminta jatah waktu untuk saya bisa pumping kapanpun, termasuk ketika meeting. Kantor menyanggupi dan menyediakan nursery room walaupun 6 bulan pertama saya masih harus pumping di meeting room. Selain itu, mereka pun menyanggupi maternity leave yang diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Walaupun saya tidak bisa menikmati hasil keputusan tersebut karena saya hanya cuti 4 bulan, tapi saya bangga telah memperjuangkan hak ibu bekerja lainnya, setidaknya di kantor sendiri. Menurut saya, rejeki tidak melulu berbentuk uang itu benar. Kadang memiliki atasan dan perusahaan tempat bekerja yang pengertian adalah salah satu bentuk rejeki.
Sampai saat ini saya tetap bekerja part time sambil mengurus keluarga. Walaupun tidak bisa dipungkiri pengalaman pertama menjadi ibu cukup menyebabkan saya merasa trauma untuk mempunyai anak lagi. Sejujurnya sampai sekarang saya belum siap untuk memiliki anak lagi. Memikirkan bahwa saya harus mengurus semuanya sendiri ditambah dua anak sepertinya terlalu berat untuk saya. Tentunya saya ingin kembali bekerja full time suatu hari nanti. Saya ingin mengejar karir yang tertinggal, tapi saya yakin semua ada waktunya. Keadaan tidak banyak berubah dari awal saya menjadi ibu, namun bagaimana saya menjalankannya dan mindset saya sudah berubah. Keluarga akan selalu menjadi prioritas saya, apapun yang terjadi. Saya belajar untuk mensyukuri hal-hal yang penting sampai yang kecil sekalipun yang dimiliki dalam hidup.
Wina, suami dan Baran, keluarga yang menjadi prioritasnya
Penulis: Ardwina, editor: Asih