Bagi saya, berbicara tentang kisah Mahabharata seperti tidak akan ada habisnya. Epik yang berasal dari India ini layaknya sebuah mitologi kuno yang abadi, tidak lekang oleh waktu serta selalu dapat dilakonkan lagi dan lagi. Begitu pula sebuah kisah dari karakter wayang perempuan bernama Drupadi. Beberapa dari kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan salah satu sosok perempuan tangguh yang juga berpengaruh dalam kultur masyarakat patriarki ini. Tapi jikalau belum, izinkan saya membuat cerita singkat tentang perempuan yang terlahir dari agni (api) ini.
Drupadi adalah seorang istri dari Yudistira, Arjuna, Bima, Nakula, dan Sadewa. Pernikahannya lahir dari pertaruhan ayahnya sendiri, Abiyasa, dengan alasan karena keelokan rupa Drupadi yang sungguh tiada tara, sehingga akan lebih adil jikalau suami untuknya diperoleh dengan sebuah sayembara. Maka keluarlah Arjuna sebagai pemenangnya. Dan atas perintah Dewi Kunti, Ibu dari kelima Pandawa, apa atau siapapun hadiah yang didapatkan oleh seorang dari anaknya harus rata dibagi lima, maka Drupadi pun dibagi menjadi istri dari kelima anaknya sekaligus.
Drupadi sendiri adalah seorang yang bersahaja dan selalu ikut memikirkan nasib Pandawa. Ia merupakan sosok yang lengkap, lahir maupun batin, karena kepiawaiannya dalam memahami soal politik, sosial – budaya, termasuk juga tata busana, kecantikan, dan keputrian jauh sebelum Ia menikah. Namun semasa hidupnya, bersama Pandawa, Ia justru banyak menemukan ketidakadilan dan kesengsaraan. Penderitaan dan sakit hati, dari mulai menjadi barang taruhan, bersetia pada sebuah janji, serta menjadi induk bala dari berbagai peperangan. Tetapi meski begitu, Drupadi hadir sebagai pilar kemakmuran dan keadilan bagi banyak orang lain.
Ada salah satu percakapan Drupadi yang belakangan selalu terngiang-ngiang di kepala saya, begini kira-kira bunyinya, “Bila kamu telah tak memiliki dirimu sendiri, apa kamu masih berhak memiliki pasanganmu?”, ujar Drupadi kepada Yudistira tepat sebelum Ia maju ke meja perjudian sebagai barang taruhan. Bukan karena pertanyaan berhak atau tidak berhak, tetapi justru kalimat pengandaian di awal yang membuat saya jadi ikut tersadar, Ah, iya apakah aku sudah sepenuhnya memiliki diriku sendiri untuk dapat memutuskan dan atau berbuat yang setelah-setelahnya?
Kennya di sela-sela pengambilan gambar bersama para penari dan aktor video music untuk Drupadi_Id. Foto diambil oleh Indra Adryan
Tak bisa dipungkiri, usia saya yang saat ini menginjak angka dua puluh lima tahun, dengan pekerjaan sebagai pegiat budaya dan pejuang kesenian yang serba tidak pasti, serta status lajang yang masih setia menemani, sudah pasti bisa dan sangat bisa membuat siapa saja terheran-heran. How can you survive a situation like this? Begitu kira-kira jikalau bisa saya terjemahkan air muka setiap orang usai mendengar pernyataan-pernyataan di atas tadi. Kalau sudah begini, saya cuma bisa tertawa dalam hati. Pegangan saya cuma satu, saya tidak dan tidak akan pernah mengizinkan diri saya untuk malas. Istilah kasarnya, jika saya malas maka saya (sudah pasti) akan mati.
Malas disini berlaku dalam konteks apapun, loh, ya. Malas bergaul, malas mencatat, malas merawat diri, malas membaca, malas keluar rumah, malas urus rumah, dan terutamanya malas memahami dan mengenali diri sendiri. Bagian terakhir ini adalah bagian paling krusial yang saya rasa, perlu kita highlight bersama-sama. Mengingat teknologi dan arus informasi yang menderas tanpa ampun, memungkinkan siapa saja untuk kehilangan waktu bagi diri sendiri dan bahkan jati diri. Duh, menakutkan sekali.
Tapi bukan berarti saya tidak pernah meragukan diri sendiri. Sering, malah. Dari mulai merasa tidak pede karena gagap matematika, atau punya badan yang kelewat sekel, tanpa lekuk, dan cenderung lurus-lurus aja seperti laki-laki, sampai kemampuan keuangan yang sampai detik ini masih serba kembang kepis dan boro-boro bisa mulai nyicil rumah atau mobil, buat makan minggu depan saja masih seringkali berpikir keras tentang apa dan bagaimana.
Tentu masih banyak lagi ketakutan dan ketidak percaya dirian saya yang lain. Tapi kembali lagi ke pernyataan diawal, bahwa saya tidak dan tidak akan pernah mengizinkan diri saya untuk malas. Oleh karena itu, ketika tahu saya gagap matematika, sedang matematika itu fundamental bagi kehidupan, yang saya lakukan adalah belajar memahami matematika dengan cara lain, cara yang lebih mudah saya terima dan nikmati tentu, misalnya melalui musik. Atau mencari teman yang bisa menyeimbangi persoalan angka ketika saya sendiri lebih banyak berkutat mengolah otak yang sebelah kanan. Satu contoh lagi, ketika saya tahu hal yang saya sukai adalah hal-hal yang berkaitan dengan seni pertunjukan, seperti seni tari, teater, musik, dan film, sedang kita sama-sama tahu bahwa hal-hal tersebut di atas tidak cukup dapat menghidupi, yang saya lakukan adalah banyak membuka jejaring baru, berpartisipasi pada beberapa projek, berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki antusiasme tinggi terhadap seni, serta beberapa profesional di bidang ini untuk kemudian bekerja dan atau belajar kepada mereka selama periode waktu tertentu.
Di balik layar proses latihan Drupadi_Id. Foto diambil Oleh Muhammad Taufiq
Apakah saya kemudian langsung kaya? Tidak. Apakah saya jadi punya sisa waktu lebih banyak? Jelas tidak. Pekerja freelance dan atau independen lain pasti tahu, bahwa jam kerja kami sungguh serba tak tentu dan tidak pernah peduli dengan sabtu minggu. Apakah orang tua sepenuhnya mendukung? Tidak. Pake kuadrat. Kalau tidak percaya, bagian ini bisa ditanyakan ke orangtua saya sendiri jikalau sempat. Entah sudah berapa kali dalam seminggu, terutama Ibu, selalu menanyakan kepada saya, kapan kiranya saya bisa punya pekerjaan yang ‘normal’ dan serius. Tapi, apakah saya senang dan dapat mengenal diri saya sendiri lebih jauh? Lebih dalam? Jawabannya iya dan iya.
Dengan mengenal diri sendiri saya jadi semakin memahami bahwa kesadaran untuk bertanggung jawab dalam menghidupi diri sendiri bagi saya adalah sebuah keharusan. Tetapi bekerja dan melakukan sesuatu yang dapat membawa manfaat bagi banyak orang lain adalah sungguh suatu kewajiban. Dan karena hidup itu pilihan, apapun yang saya tentukan, sudah pasti harus saya terima lengkap dengan segala konsekuensi-konsekuensinya. Mengangkat lakon drupadi, misalnya. Adalah berarti mempelajari diri sendiri sebagai subyek (agent). Dengan kesadaran bahwa seorang perempuan haruslah mengetahui apa yang dikehendakinya dan tahu pula bagaimana cara mencapainya.
Kenaya saat bekerja bersama Tim Drupadi_Id saat melakukan pengecekan gambar di Pasar Burung Sukahaji, Bandung
Maka, setelah hampir 5 tahun aktif berkarya dalam kancah seni pertunjukan, kali ini saya benar-benar ingin melakukan hal yang sebelumnya belum pernah saya lakukan, yakni melibatkan lebih banyak orang dari berbagai kalangan untuk kemudian dapat menyuarakan kegelisahannya, ketakutannya, sekaligus kekuatannya sebagai perempuan di masa sekarang. Ini adalah salah satu upaya saya mengajak kita semua untuk lebih dulu berangkat ke dalam. Berefleksi. Mengenali diri sendiri untuk sesudahnya kita tahu akan berbuat apa, bagaimana, dan kepada siapa di luar sana. Mengejewantahkan karakter Drupadi ke dalam sebuah platform kesenian adalah salah satu cara saya belajar untuk mencapai hal-hal tersebut di atas. Termasuk juga keinginan saya untuk meminjam banyak ide, gagasan, pendapat, sanggahan, dan dukungan dari teman-teman sebagai perempuan, dan terutamanya, sebagai manusia yang ingin memanusiakan manusia lainnya. Meminjam, yang dalam pengertian harfiah, adalah menggunakan dalam jangka waktu tertentu, merupakan janji bahwa suatu saat nanti, saya harus bisa mengembalikan itu semua kepada kalian. Karena sungguh, kisah Drupadi bukan hanya sekadar tentang poliandri, tetapi juga tentang bagaimana menjadi sekuat-kuatnya pribadi. Bahwa diri ini, tidak ada yang memiliki, selain Dia yang tidak pernah pergi dan diri kita sendiri.
Penulis: Kenyar Rinonnce