A Leap of Faith
- Archeilia Dwianca
- Oct 30, 2017
- 3 min read

I was raised as a boy.
Sejak kecil, orangtua saya, yang memiliki 2 anak perempuan, sepakat untuk membesarkan anak-anaknya menjadi perempuan yang kuat. Salah satu contohnya, sewaktu saya kecil, saya selalu hanya boleh menggunakan celana serta sendal gunung, dan saya juga selalu berambut pendek ala laki-laki. Mereka pun mendidik kami dengan keras soal tanggung jawab, kemandirian, berpikir logis, dan cara-cara lain menjadi perempuan tangguh. Sampai saat ini, hal-hal itu sungguh saya syukuri.
Berbeda dengan kakak saya yang sangat menyukai fashion sejak kecil, saya tergila-gila pada buku. Mungkin karena ketertarikan yang berbeda, saya menjadi lebih tomboy dibanding kakak. Sewaktu SD, saya berkelahi dengan anak laki-laki hampir setiap hari, terkadang pulang dengan luka tonjokan. Sampai saya kelas 4 SD, bagi saya, laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya. Sama sekali.
Namun saat saya pindah ke kota besar, itu pun setelah saya kelas 6 SD, barulah saya menemui perbedaan standar ‘perempuan’ dan ‘laki-laki’. Perempuan tidak berkelahi dengan laki-laki. Perempuan tidak galak dan tidak bersuara menggelegar. Perempuan memiliki ‘politik’tersendiri dalam pergaulan. Ada ‘sanksi sosial’yang dikenakan pada perempuan, bila terlalu ‘bossy’, terlalu dekat dengan anak laki-laki, terlalu sering mengutarakan pendapat. Pada masa itu, laki-laki lebih sibuk bermain bola dan berolahraga setiap jam istirahat, sedangkan perempuan biasanya berkumpul bersama dan ‘mengobrol’. Saya yang tidak pernah bisa memahami obrolan mereka, biasanya hanya duduk berdua dengan teman perempuan saya yang ketertarikannya sama, yaitu buku.
Ketika memasuki masa puber, kemampuan saya memahami pergaulan perempuan terus menghadapi tantangan. Saat SMA, saya sekali lagi pindah ke kota yang lebih besar, Bandung. Di kota ini, saya yang berasal dari ‘pedalaman’ semakin buta tentang obrolan remaja-remaja ibu kota. Ditambah lagi, tabiat saya yang masih ‘berbeda’ dan ‘liar’. Entah karena lambatnya saya beradaptasi, atau karena saya yang terbiasa seenaknya seperti laki-laki, saya mendapati bahwa saya dikucilkan di kelas. Namun, karena saya dididik untuk selalu bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada diri saya atau orang lain, saya percaya bahwa semua itu kesalahan saya. I beat myself up, I blamed myself for not being able to fit in.
Untungnya, saya tetap memiliki teman-teman baik, baik laki-laki maupun perempuan, dari luar kelas, yang mau menerima dan mengajari saya tentang perbedaan budaya dan pergaulan di Bandung. Sialnya, saat memasuki kelas 2 SMA, saya lagi-lagi sekelas dengan beberapa teman dari kelas 1. Melihat daftar nama kelas itu, saya memutuskan menyerah untuk mencoba memahami perempuan ataupun untuk fitting in, dan saya memilih untuk menjaga hubungan saya dengan orang-orang yang menerima saya.
Even though there were several girls at my class that were so kind and opened up to me, I couldn’t do the same to them. Entah bagaimana, saya mengasosiasikan hal-hal tidak enak yang saya lalui dengan ‘karena saya tidak mengerti cara menjadi feminin dan menghadapi perempuan’. Saya tidak mau mengambil resiko memercayai mereka, lalu sakit hati jika mereka berhasil dipengaruhi provokator/bulliers lain. Saya lebih banyak membuka diri pada teman-teman laki-laki saya, yang di mata saya lebih logis dan mudah dihadapi. I become so picky at creating friendship, specifically to girls.
Pada awal masa perkuliahan, lagi-lagi kepercayaan saya terhadap perempuan diluluh lantakkan. Karena kebetulan-kebetulan kecil, seorang teman dekat perempuan saya mengira saya menyukai pacarnya. Saya ditumpahi kata-kata makian dan menjadi bahan gosip. I was stunt. Again, my disability in differentiating how to treat men and women cost me another heartache. Since then, I chose always a group of men to be my friends. Bahkan kalau pun ada perempuan dalam lingkaran pertemanan saya, saya butuh waktu jauh lebih lama untuk bisa bercerita dan membuka diri terhadap mereka. I take my time to observe the person, to read the signals, and to double-check my gut. I ask myself two big questions, “Are they trustworthy? Can I treat them the way they want?”

Inka dengan teman-temannya yang satu kegiatan ekstrakulikuler Apres di ITB, sebuah unit kegiatan yang bergerak di musik Band, yang mayoritasnya memang laki-laki
Namun sekarang, setelah saya lebih dewasa dan lebih banyak bertemu orang-orang yang berbagai macam, saya paham, bahwa it’s not about the gender. It’s about the person. Saya hanya bertemu dengan orang yang salah. Dan kebetulan mereka adalah perempuan. Gender tidak ada hubungannya dengan bisa/tidaknya seseorang dipercaya. Gender tidak ada hubungannya dengan seberapa logis seseorang, seberapa jujur seseorang. Saya mengakui, bahwa saya yang juga seorang perempuan pun ternyata melihat suatu tidak secara objektif, dan bersikap tidak adil terhadap gender saya sendiri. Saya belajar menerima bahwa saya memang berbeda, mungkin aneh, namun pandangan orang terhadap saya tidak datang dari satu gender saja, and that it’s okay to be weird.
Sampai saat ini, masih ada kesulitan untuk saya membuka diri pada desama perempuan dan menjadi diri saya sendiri di sekitar mereka. Saya terkadang masih mempunyai insecurities dalam menghadapi teman-teman perempuan saya. Tapi kali ini, saya tidak menyerah. I take a leap of faith, repeatedly. Saya mencoba percaya, dan memaafkan diri sendiri jika saya salah menilai orang tersebut, baik laki-laki maupun perempuan.
By telling this story, I also took a leap of faith, because I want to trust women, and I do.

Penulis: Archeilia Dwianca
Editor: Asih