Perjalananku dimulai sebagai seorang pengelana.
Walaupun jauh dari hingar bingar kota, aku menikmati setiap rasa yang hadir di jalan itu.
Jalan yang kupilih mungkin penuh kerikil dan sandungan, namun aku tetap bangkit dan terus berjalan.
Jauh dari hingar bingar, aku terus mencoba bersama desaku untuk menuju sebuah perubahan kecil yang berarti.
Melalui desaku yang tanpa signal telekomunikasi, yang tanpa listrik,
yang terkadang sulit mendapatkan air bersih, yang jauh dari kabut peradaban,
pandanganku tentang makna kehidupan berubah.
Aku mulai menjelajahi Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar di Indonesia sejak bergabung di Patriot Energi, sebuah program dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia yang mengirim sarjana- sarjana teknik terbaik ke daerah pelosok untuk pengembangan rasio elektrifikasi negeri ini. Program ini diinisiasi oleh Kementrian untuk memenuhi target pembangunan 35.000 MW pembangkit listrik di wilayah Indonesia yang belum terelektrifikasi. Namun pada praktiknya, tugas Patriot Energi di desa-desa tidak selesai hanya pada ranah energi, Patriot Energi juga melakukan pemberdayaan di Desa dalam bentuk mengajar, ataupun melakukan kegiatan ekonomi produktif bersama masyarakat.
Menjelajahi satu demi satu pelosok Indonesia sampai ke hulu pedalaman adalah pengalaman yang langka dan mahal, aku bersyukur dapat menjalaninya. Aku merasa seolah memegang sebongkah berlian berupa pengalaman di tangan. Aku juga beruntung untuk mengikuti Patriot Energi tidak hanya sekali, namun tiga kali. Dan dalam tiga kesempatan tersebut aku telah belajar banyak hal, bahkan aku merasa ketiga kesempatan ini seolah menjadi universitas kehidupanku yang pertama. Pengalaman ini membantuku mengenal diri sendiri, mengenal orang sekitar, bahkan mengenal kesinergisan alam dengan manusia. Belajar hidup dan tinggal di desa di pelosok juga telah membantuku memahami lebih dalam konsep hidup berbagi, bersyukur dan berbuat baik.
Pada kali pertama, aku ditempatkan di Kepulauan Riau tepatnya di Pulau Papan. Sebuah Pulau yang terletak di Kabupaten Tanjung Balai Karimun yang didiami oleh Suku Melayu, Suku Tiongkok dan Suku asli. Sedangkan pada penempatan kedua, aku ditempatkan di Kabupaten Konawe Selatan di sebuah desa yang jauh dari kota. Bahkan butuh 5-7 jam perjalanan laut untuk sampai desa ini. Desa ini didiami oleh Suku Tolaki dan Suku Buton. Dan pada kali ketiga saya bergabung dalam Program Patriot Negeri Berau, sebuah program pemberdayaan masyarakat dibawah Pemerintahan Daerah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Dan pada kali ini aku ditempatkan di Desa Biduk-Biduk yang mayoritasnya Suku Bugis dan Bajau serta Desa Siduung Indah yang didiami oleh suku Dayak asli.
Damay dengan seorang nenek dari Suku Dayak
Mungkin mendengar tentang lokasi-lokasi penempatan yang aku sebutkan di atas, teman-teman jadi bertanya, bagaimana aku dapat beradaptasi di sana?
Kukira karena aku lahir dari keluarga sederhana, tidak terlalu susah untukku beradaptasi pada kehidupan di desa penempatanku. Namun ternyata kesulitan datang dalam bentuk lain. Ujian akan keinginan kita membantu masyarakat mulai muncul bersamaan dengan terjunnya kita ke dalam kehidupan mereka. Tantangan bagi kami adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan untuk menjadi bagian dari masyarakat, dengan tetap memiliki kemampuan melihat situasi mereka secara objectif. Sehingga, sebagai orang luar kami dapat memberikan solusi atau ide untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. How to act like a native, think like stranger.
Damay bersama masyarakat Suku Dayak saat proses menanam padi
Ada suatu rasa khas yang mendatangiku setiap aku memasuki suatu desa, seketika aku ingin menjadi bagian dari mereka, bersama-sama membangun, terjatuh lalu bangkit untuk mencapai hal yang ingin diperjuangkan. Oleh karena itu, menjelajahi pelosok Indonesia menjadi candu. Aku sudah merasakan bagaimana melewati giram, sebuah arus kencang yang dapat mengakibatkan kapal karam. Aku pernah disapa seekor ular di paha dan seekor kalajengking kelapa di kaos kaki. Aku pernah disapa seekor lipan dengan gigitan di tangan. Aku juga pernah diseret seekor sapi. Aku bahkan pernah bertualang mencari energi terbarukan pada musim timur saat ombak sedang kencang-kencangnya, dengan memakai sebuah kapal kecil, mengarungi hutan, gunung dan jalan mendaki serta lainnya.
Damay dengan perahu ketinting ketika mencari sumber air bersih
Kita dianugerahi kenyamanan dan ketenangan ketika berada dalam kebaikan. Maka seharusnya tidak ada keraguan untuk berbuat baik. Begitulah alasan aku jatuh cinta kepada Patriot. Bersama teman-teman dari Patriot, kami berjuang untuk membawa perubahan kecil kepada masyarakat. Namun pada akhirnya, kami jugalah yang merasakan dan mendapatkan banyak kebaikan selama menjadi Patriot.
Begitulah perjalananku menjadi Patriot dan aku masih berada di pedalaman di Kalimantan Timur. Aku masih tinggal di sebuah kampung Suku Dayak Kenyah, dan saat ini aku pun menjadi minoritas di kampung ini. Aku belajar bahwa bersatu bukan berarti selalu sama. Perbedaan justru membuat kita belajar untuk saling menghargai dan menghormati. Aku sekarang menyadari bahwa kepedulian dan rasa cinta kepada sesama dapat memberikan begitu banyak kebaikan. Karena Tuhan pun mengajarkan kita untuk berbuat baik tanpa mengenal agama ataupun suku.
“This is what we call love. When you are loved, you can do anything in creation. When you are loved, there's no need at all to understand what's happening, because everything happens within you.”
Paulo Coelho, The Alchemist
Penulis: Damay
Editor: Asih, Ala