Sejak kecil saya senang menonton film India. Iya, film India. Saya besar di daerah perkampungan di jantung kota Jakarta, di rumah-rumah sederhana antara pasar-pasar dan jalan raya, yang jika mau ditelusuri jalanannya harus masuk lewat gang-gang setapak dibalik gedung-gedung besar ibukota. Sampai awal dan pertengahan 2000-an, hiburan orang perkampungan kota, yang mungkin juga merupakan hiburan perkampungan di pesisir atau pedalaman daerah Indonesia lainnya, adalah film India. Tetangga berkumpul di akhir minggu untuk menonton film India yang disiarkan lewat stasiun televisi lokal atau diputar dari DVD bajakan. Saya ingat setiap ikut ke pasar, highlight dari perjalanan itu ada dua; abang-abang gulali dan toko DVD India. Mungkin sampai sekarang, film India yang saya tonton sudah ada ratusan. Saya malah curiga ribuan. Ini belum termasuk berapa kali saya menonton ulang film-film favorit saya. Lebih baik tidak usah kita hitung, nanti saya merasa bersalah.
Kebiasaan ini masih saya bawa sampai saat ini. Sejak SD sampai kuliah, bahkan diantara teman kerja, saya dikenal sebagai ‘si anak yang suka nonton film India’. Saya punya tiga hard-disk, isinya penuh film-film India lawas yang sengaja saya simpan untuk obat nostalgia. Sama seperti kamu yang mungkin masih menyimpan lagu-lagu Westlife untuk mengenang masa kecil. Ketika saya kuliah master di UK, saya sering ke bioskop untuk nonton apa? Tentu saja film India. Karena diaspora Asia Selatan yang cukup besar di Manchester, kota tempat saya tinggal saat itu, frekuensi pemutaran film India di bioskop 100 kali lebih sering dari bioskop-bioskop di Jakarta.
Tidak jarang ditertawakan, dibilang norak sudah biasa. Saya sih tidak pernah tersinggung, karena saya yakin mereka yang menertawakan juga tidak punya maksud buruk. Setelah saya beranjak dewasa, saya mulai melihat film-film India yang saya dulu sering tonton dari kacamata yang berbeda. Saya mulai menonton kembali film-film India lawas tersebut dengan refleksi kultur dan pemahaman fenomena sosial yang secara tidak langsung telah saya internalisasi selama belasan tahun.
Dari kebiasaan menonton film India ini, ada satu yang saya sadari: bahwa film India (khususnya film India sebelum tahun 2000-an) telah memperluas spektrum standard of beauty saya. Tidak sulit untuk saya menginternalisasi pemikiran bahwa ketidaksempurnaan itu indah. Perut dengan lemak berlipat, kulit gelap, betis besar, dan hidung pesek itu bisa jadi cantik. Kenapa begitu? Karena ternyata saya tumbuh besar melihat aktris-aktris di film India lawas yang tidak jarang terlihat memiliki perut dengan lemak berlipat, lengan atas yang besar, dan kulit hitam yang tidak coba ditutupi dengan foundation dengan rona putih yang kontras. Bukannya ditutupi, kebanyakan dari aktris-aktris tersebut malah memakai sari dengan perut terbuka atau bodycons yang ketat membalut badan. Dan di film-film itu, dengan ‘ketidaksempurnaan’ (sesuatu yang bahkan pada saat itu tidak saya sadari sebagai sebuah ‘ketidaksempurnaan’) tersebut, mereka tetap berada pada narasi kecantikan dalam film tersebut. Mereka tetap tokoh utama cerita tersebut.
Kajol dan Ajay Devgan dalam Ishq (1997)
Tentu saja di banyak film-film India, ada aktor dan aktris dengan fair complexion khas ras Aryan seperti Aamir Khan dan Preity Zinta, dan aktris-aktris yang ramping dengan perut rata seperti Kareena Kapoor, the zero-size girl of the 90s. Tetapi seingat saya, konsep si putih dan si hitam atau si langsing dan si gemuk tidak pernah dibenturkan dan dibandingkan, setidaknya di ratusan film-film lama yang saya tonton. Tokoh perempuan yang kebetulan diperankan dengan aktris berkulit hitam dengan curve body juga sebagian besar, dalam ingatan saya, memiliki kepribadian unik dan menarik yang membuat ia akhirnya menjadi tokoh utama dari film tersebut. Salah satu adegan paling legendaris dalam ‘karir’ saya menonton film India adalah adegan tari kathak Madhuri Dixit yang memerankan seorang pelacur di film Devdas (2002), yang gambarnya diambil ketika Madhuri sedang hamil beberapa bulan. Dengan baju tradisional yang berat dengan aksesori dan ketat membalut tubuhnya, Madhuri terlihat ‘montok’ jika dibandingkan dengan tokoh perempuan di film-film pada umumnya; tapi setiap melihat adegan itu kembali saya seperti melihat manusia paling cantik dalam hidup saya.
Madhuri Dixit di film Devdas (2002)
Sejak kecil sampai tahun kedua SMP, saya termasuk ‘gemuk’ dan ‘berkulit hitam’ menurut standar masyarakat di sekitar saya. Setelah lulus SD, sakit demam berdarah dan pertumbuhan pubertas membuat proporsi badan saya berubah permanen. Saya tidak lagi gemuk, walaupun masih berkulit gelap. Ketika datang reuni SD tahun yang lalu, beberapa anak harus datang kepada saya dan bertanya saya siapa, karena mereka sulit mengasosiasikan saya yang sekarang dengan saya si gemuk dan hitam.
Ada satu hal menarik yang saya sadari. Tumbuh besar belasan tahun dengan lingkungan yang terus-terusan melabeli saya dengan ‘gemuk’ dan ‘hitam’ tidak pernah membuat saya membenci diri saya. Ketika saya berkaca, saya tidak membenci apa yang saya lihat. Kenapa? Karena saya tidak mengasosiasikan itu sebagai suatu hal yang terlalu buruk, karena di pikiran saya menjadi gemuk dan berkulit gelap, seperti halnya aktris-aktris di film yang saya tonton, tidak berlawanan dengan menjadi attractive. Saya masih bisa menjadi menarik. Saya masih bisa menjadi heroine nya; tokor utama dalam hidup saya.
Mungkin ini juga dipengaruhi fakta bahwa sampai SMA, saya jarang sekali dan hampir tidak pernah terpapar secara intens dengan film-film produksi negara-negara Barat. Rumah saya tidak pernah pasang tv kabel untuk memutar saluran televisi luar negeri, dan saya juga jarang begadang larut untuk nonton Bioskop T*ans TV, yang saat itu mungkin platform utama film Barat untuk khalayak umum. Oleh karena itu, gambaran standard of beauty dalam kepala saya bertahan sampai remaja dan jarang dikonteskan dengan gambaran baru, apalagi dengan gambaran standard of beauty khas kaukasia yang berbeda dengan struktur tubuh Asia Selatan-Tenggara seperti kita. Iklan pemutih kulit tidak menarik untuk saya, karena saya menyambut ‘ke-gelap-an’ kulit saya dengan tangan terbuka. Dan walaupun akhirnya ada titik dalam hidup saya dimana saya sempat mengalami eating disorder, saya memiliki alasan yang berbeda yang tidak bisa saya ceritakan disini dan tidak ada hubungannya dengan kebencian pada fisik saya. Malah sebenarnya kecintaan dan sense of belonging saya yang besar pada tubuh saya membuat saya menjalani proses penyembuhan yang cepat, dan syukurnya tidak pernah berulang kembali. Dan karena itu pula, salah satu hal yang paling saya syukuri dari diri saya adalah bahwa saya memiliki perasaan nyaman berada pada tubuh yang saya bawa ini.
Sayangnya, film-film India sekarang sudah berbeda jauh dengan beberapa dekade lalu. Tokoh-tokoh wanita di film-film mainstream box office semakin mengerucut pada satu ragam standard of beauty; yang ramping berperut rata dan berkulit putih. Memang masih ada aktris-aktris dengan unconventional beauty seperti Kangana Ranaut dan Vidya Balan, tapi mereka lebih sering memerankan tokoh ibu dan wanita yang sudah menikah. Hal ini secara tidak langsung mengesankan bahwa peran untuk perempuan dengan fisik seperti mereka adalah peran-peran tersebut.
Jadi intinya, dalam tulisan saya yang panjang ini saya cuma mau bilang dua hal: pertama, cintailah tubuh kita dengan sepenuh hati, dan kedua, saya kangen film-film India 90-an.
Penulis: Dianty Widyowati
Editor: Asih