Halo, teman-teman :)
Namaku Rafika Utia Mulki; dari kecil biasa dipanggil Fika. Aku seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas negeri di Depok, Jawa Barat jurusan Manajemen. Aku merupakan salah satu orang yang sedang berusaha survive dengan mental illness. Aku didiagnosis oleh dokterku sebagai Bipolar Disorder tipe II dengan gejala psikotik.
Singkat cerita, semua itu berawal dari kebingunganku memilih antara akademik (IP dan prestasi) dengan kegiatan keorganisasian yang sangat aku cintai. Sampai akhirnya, aku nekat untuk mengambil tujuh kepanitiaan sekaligus dalam satu waktu. Kala itu, aku berpikir bahwa seseorang yang sangat aktif di organisasi akan mendapatkan karir yang cemerlang di dunia kerja nanti karena memiliki banyak pengalaman. Aku merelakan kuliahku demi kepanitiaan-kepanitiaan itu. Di sela waktu istirahat aku harus membuat proposal, tidak masuk kelas karena rapat, pulang dini hari naik ojek online, makan selalu telat. Aku sesibuk itu sampai aku menelantarkan diriku sendiri dan menghiraukan nasihat orang tuaku (bahwa setelah kuliah nanti aku harus fokus belajar saja, karena di SMP dan SMA aku sudah cukup aktif di kegiatan keorganisasian).
Sampai pada suatu saat aku mulai tidak bisa mengendalikan emosi. Bahkan aku tidak bisa mengontrol apa yang aku lakukan dan ucapkan. Semua berlalu begitu saja seperti anak kecil yang polos menanyakan hal ini-itu. But in extreme cases, gangguan psikotikku sudah sangat akut dan membuatku melakukan hal-hal yang tidak biasa dan aneh, seperti mengajak teman lelakiku untuk menikah denganku. Dan, menulis undangan pernikahanku yang…huh dalam pikiranku, aku akan menikah dengan dia dan akan hidup bahagia. Aku pun tidak bisa lepas dari smartphone-ku; aku kerap menuliskan opini-opini yang sangat vokal, dan akhirnya teman-teman menganggapku orang yang sedang stres, trauma, atau apalah yang dianggap oleh mereka. Karena gejala psikotikku sangat dominan, aku semakin tidak bisa mengontrol apa yang kulakukan. Tiba-tiba menangis, lalu seketika tertawa sangat bahagia tanpa sebab yang jelas (dalam istilah medisnya disebut relaps).
Oh ya, aku lupa menyebutkan apa itu Bipolar Disorder. itu merupakan salah satu mental illness di mana penderitanya memiliki mood yang tidak menetap, atau mood yang terus berubah dalam rentan waktu tertentu. Terdapat dua episode dalam Bipolar Disorder. Pertama, manik (banyak tenaga, sedikit tidur, bahagia sekali, impulsif, berbicara sangat cepat tapi melompat dari satu topik ke topik lain). Kedua, depresi (sedih, kecewa, merasa tidak berarti, menyendiri, tidak banyak bicara, tidak ada energi untuk melakukan aktivitas). Bipolar memiliki 3 tipe, yaitu tipe I, II, dan chyclotimic. Tipe I dominan manik dan sedikit depresi; tipe II dominan depresi sedikit manik, dan chyclotimic itu di mana episode manik dan depresi tidak terlalu dominan. Tipe ini merupakan tipe Bipolar yang paling ringan setelah tipe I dan II. Aku didiagnosis tipe II, padahal aku merasa selalu manik dan jarang sekali mengalami depresi. Bahkan, pada 1,5 tahun pertama aku tidak pernah diberi obat antidepresan oleh dokterku.
Oke, balik ke ceritaku tadi ya hehe.
Akhirnya keluargaku memutuskan membawaku ke badan konseling fakultas, karena dosenku mengetahui keadaanku yang separah itu. Beliau memintaku untuk cuti di semester 4, yang di aturan sebenarnya batas minimal cuti itu di semester 5. Namun, karena kondisiku yang tidak memungkinkan, akhirnya aku diberikan izin cuti oleh pihak fakultas dan pihak prodi, meskipun aku masih sangat keukeuh untuk tetap kuliah.
Aku pun dibawa ke psikiater oleh kakakku. Waktu itu, aku sangat senang karena hampir seluruh keluarga besarku ikut mengantarkanku ke rumah sakit untuk konseling dengan psikiaterku. Aku merasa, oh ternyata keluargaku sayang dan peduli padaku ;’)
Mereka banyak membantuku untuk menjelaskan kondisiku kepada psikiater. Setelah dua sampai tiga kali konsul, akhirnya psikiaterku mendiagnosisku dengan Bipolar Disorder Tipe II dengan gejala psikotik akut. Psikiaterku pun mulai memberiku obat-obat yang cukup banyak. Aku pun harus membiasakan diri dengan mengkonsumsi obat-obatan itu demi menyeimbangkan cairan di otakku, agar aku lebih produktif dan bisa beraktivitas seperti semula.
Satu tahun pertama terasa berat untukku mengkonsumsi obat-obatan. Aku merasa minder dan berbeda dengan teman-temanku yang lain. Berat badan yang naik 10 kilogram membuatku tidak percaya diri untuk keluar rumah, Wajahku juga berbintik merah karena efek obat yang kuminum. Aku merasa tidak normal dengan mengkonsumsi obat-obat itu. Selama setahun itu, aku tidak bisa tertawa dan menangis. Saat teman-temanku bercerita lucu dan mereka tertawa terbahak-bahak, aku hanya bisa diam dan tidak menganggap hal itu lucu sama sekali. Saat menonton film sedih, adikku menangis dan aku hanya diam dan tidak merasa itu tidak sedih sama sekali.
Aku merasa obat itu membuatku berbeda dan aneh. Aku yang tadinya bawel, lincah, banyak berteman, kala itu 180 derajat berbeda jauh. Aku merasa bingung, aku ini sebenarnya seperti apa? Apakah Fika yang ceria seperti sebelum didiagnosis? Atau Fika yang murung, tak berkawan, menyendiri, dan tidak percaya diri?
Kakakku tidak diam saja. Setelah aku sakit, aku menjadi dekat dengan kakakku dan mencoba menceritakan perasaan juga suasana hatiku yang selama ini kupendam sendiri. Akhirnya, dia mencoba mencarikan komunitas bipolar, sehingga bertemulah aku dengan Bipolar Care Indonesia. Di sana banyak orang-orang yang berjuang sepertiku. Aku merasa tidak sendirian. Dengan bergabung dalam support group-nya, aku pun mengetahui bagaiamana cara mengatasi manik atau depresiku yang bisa muncul kapan saja. Aku juga mengikuti talk show atau seminar psikoedukasi yang diadakan di Bogor. Aku belajar tentang manajemen emosi, manajemen waktu tidur, bagaimana mengoptimalkan diri meskipun kita seorang ODB (orang dengan bipolar), manajemen penggunaan obat. Semuanya membuatku bangkit serta memberi semangat untuk lebih produktif. Muncul juga keinginan kuat bermanfaat bagi orang lain di bidang yang aku kuasai. Aku ingin agar orang-orang menyadari bahwa Bipolar Disorder yang selama ini dianggap negatif tidak akan menghentikanku untuk memberikan manfaat ke lingkungan sekitar.
Bagiku, semua ini adalah sebuah fase kehidupan yang harus aku jalani, meskipun polanya akan tetap sama yaitu manik dan depresi, tetapi aku yakin bahwa ini akan mendewasakanku perlahan-lahan bahwa di balik kesedihan yang berkepanjangan (depresi) pasti akan ada kesenangan (manik), dan di saat rasa bahagiaku muncul, aku harus menahannya agara tidak terlalu bahagia (manik) karena kebahagiaan ini semu dan kesedihan pasti akan datang (depresi).
Setelah satu tahun itu lewat, aku sudah mulai bisa tersenyum, tertawa, dan menangis. Betapa bersyukurnya aku bisa merasakan itu semua. Psikiaterku bilang bahwa satu tahun pertama adalah masa penyesuaian tubuhku dengan obat-obat yang baru aku konsumsi. Aku baru menyadari bahwa kesedihan, kebahagiaan, dan perasaan lainnya adalah sesuatu nikmat yang Tuhan berikan kepada manusia agar senantiasa kuat menjalani hidup dan selalu bersyukur dengan nikmat yang Tuhan berikan.
Karena sudah merasa lebih baik dengan dosis dan komposisi obat yang sudah sesuai, aku mulai mencoba mengedukasi teman-teman di sekitarku tentang bipolar dan pentingnya kesehatan mental. Setidaknya, aku ingin membuat mereka mengerti bahwa kesehatan yang utama itu bukan hanya kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental. Bahkan penyakit fisik, jika dicari hubungan kausalitasnya, bisa berasal dari keadaan mental seseorang. Sebulan sekali kuluangkan waktu untuk mengikuti psikoedukasi yang diselenggarakan oleh Bipolar Care Indonesia. Aku juga mengikuti seminar kesehatan lain, yang membuatku lebih sadar dan mengerti tentang keadaan diriku sendiri. Karena, satu-satunya yang bisa mengobati diriku adalah diriku sendiri, adapun psikiaterku hanya bisa memberikan obat setelah aku mengutarakan kondisi yang kualami.
Selain ke psikiater, aku juga melakukan terapi dengan psikolog yang merupakan salah satu fasilitas kesehatan yang ada di kampusku. It means a lot to me. Aku belajar dari awal seperti bayi seperti bagaimana berkomunikasi dengan orang lain, bersosialisasi, mengatur emosi, berolahraga, menghadapi pikiran-pikiran negatif. Juga, hal-hal lain yang mungkin dianggap orang mudah dilakukan tapi sangat berarti bagiku saat aku bisa melakukannya.
Aku sangat bersyukur karena Tuhan memberikanku hadiah yang istimewa berupa Bipolar Disorder, sehingga aku lebih bisa memahami diriku sendiri dengan lebih baik. Lebih bisa menyadari betapa besarnya kasih sayang keluargaku padaku. Aku semakin menyadari bahwa manusia itu punya batas dan tidak bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu sehingga harus membuat prioritas. Apa yang kupikirkan (dalam hal ini, pemikiran negatif) belum tentu benar. Dan, menjadi seseorang yang bermanfaat itu tidak selalu karena diri kita sempurna tanpa cacat, tapi kita bisa bermanfaat dari kekurangan serta hal buruk yang telah kita dapatkan hikmahnya.
Untuk kawan-kawan di luar sana yang sama-sama berjuang sepertiku, percayalah bahwa Tuhan mengirimkan kita hadiah ini (mental illness) bukan tanpa sebab. Bukan karena Tuhan ingin meginginkan kita terpuruk, tapi Tuhan ingin kita bangkit dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kita buat agar kita senantiasa dekat dengan-Nya dan bisa memberikan manfaat dan menginspirasi orang-orang di sekitar kita.
Dariku yang sudah menemukan siapa diriku sebenarnya,
Rafika Utia Mulki
Penulis: Rafika Utia Mulki
Editor : Ala