1 Oktober 2015.
Hari itu saya menghadiri acara penganugerahan Beasiswa Marwa El-Sherbini for open-mindedness and tolerance. Beasiswa yang dianugerahkan Negara Bagian Free State of Saxony melalui Kementerian Persamaan Hak dan Integrasi yang bekerja sama dengan kota Dresden untuk mengenang Marwa El-Sherbini. Acara penganugerahan saat itu diselenggarakan di Aula Max Plank Institute Dresden. Salah satu tempat yang dirasa memiliki ikatan emosional dengan peristiwa yang terjadi pada Marwa.
Tamu undangan yang memenuhi aula bertepuk tangan riuh saat satu per satu sambutan selesai. Wakil Walikota Dresden menyampaikan antusiasmenya atas penganugerahan kedua beasiswa tersebut setelah yang pertama dianugerahkan pada tahun 2013 kepada seorang mahasiswi asal Yordania. Saat itu, ia duduk disamping saya dan tersenyum saat namanya disebut. Begitu percaya diri. Jauh berbeda dengan saya yang berusaha menyembunyikan diri.
Tidak banyak yang tahu bahwa saya pernah memiliki masa krisis kepercayaan diri. Kegagalan bertubi-tubi yang saya alami sebelumnya cukup memiliki dampak terhadap diri saya. Orang bilang kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Saya setuju. Hanya saja, jika kegagalan itu datang secara beruntun, datang setelah proses usaha yang panjang dan saat kita yakin bahwa kita telah memberikan yang terbaik, tak aneh jika kita justru menjadi ragu.
Saya sempat ragu dengan kemampuan saya sendiri. Mungkin, saya bermimpi terlalu tinggi. Saya menilai diri terlalu tinggi. Kegagalan membuat saya kehilangan diri, sehingga saya pun menutup diri dan smebunyi. Membangun benteng dan menikmati rasa kecewa terhadap diri sendiri.
Saya pikir mungkin keberhasilan akan menghilangkan itu semua. Ternyata tidak. Suatu hari di bulan September 2015, nomor tak dikenal menelepon saya. Ternyata saya mendapat telepon dari Ibu Menteri Persamaan Hak dan Integrasi Negara Bagian Saxony. Saya terpilih menjadi penerima Beasiswa Marwa El-Sherbini for open-mindedness and tolerance. Mendengar kabar itu, jantung saya seperti berhenti berdetak. Saya terpilih? Saya terpilih? Saya terpilih? Tiga kali juga ibu menteri menjawab pertanyaan saya. Ya, kamu terpilih. Saya sangat bahagia. Ini mimpi menjadi kenyataan. Hasil yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.
Sayangnya bahagia itu tidak serta merta mengembalikan kepercayaan diri saya. Setelah mendapatkan pemberitahuan, saya tak langsung menelepon orang tua. Bagaimana kalau itu pemberitahuan palsu? Bagaimana kalau ternyata keputusan saya sebagai penerima beasiswa dibatalkan, lalu dirasa orang lain lebih pantas? Bolehkah saya bahagia? Satu hari berlalu dan saya tetap diliputi keraguan dan ketakutan. Melihat nama saya tertera di beberapa koran lokal meluruhkan keraguan saya. Oh, ini nyata. Tapi apa saya pantas? Apa saya bisa? Apa saya boleh berbahagia?
Apalagi, Beasiswa Marwa El-Sherbini adalah beasiswa yang membawa nama seorang perempuan luar biasa. Marwa El-Sherbini adalah perempuan berkebangsaan Mesir yang pindah bersama keluarga kecilnya ke Dresden. Sang suami saat itu mendapatkan beasiswa PhD di Max Planc Institute, sebuah badan penelitian di Jerman. Suatu hari, Marwa membawa putranya yang berusia tiga tahun ke sebuah taman bermain umum di sekitar rumahnya. Ayunan di taman tersebut telah diduduki seorang anak kecil. Duduk pada ayunan yang kedua, seorang laki-laki paruh baya yang menemani anak kecil tersebut. Setelah Marwa dan putranya mencoba menunggu, putra Marwa merengek. Marwa lalu secara halus bertanya lepada laki-laki yang menduduki ayunan, apakah putranya diperbolehkan memainkan ayunan yang ia duduki.
Tiba-tiba laki-laki itu malah melempar teriakan kasar kepada Marwa, “Teroris! Islamis!“ Masih dengan suara keras, ia berkata, Marwa tak berhak menginjakkan kaki di negara ini. Mengusirnya agar kembali ke negara asalnya. Ini bukan cerita dalam film, ini sungguh terjadi di Dresden, kota cantik dengan bangunan-bangunan megah gaya Baroque. Marwa, dibantu seorang saksi di tempat kejadian, melaporkan tetangganya kepada pihak kepolisian atas kekerasan verbal. Laporan Marwa berlanjut menuju proses pengadilan. Hakim memberi putusan bahwa tetangganya bersalah dan diharuskan membayar sejumlah denda. Pria warga negara Jerman asal Rusia tersebut tak terima dengan putusan hakim dan mengajukan banding.
Hari itu Marwa menghadiri sidang banding. Hari itu juga hari terakhir Marwa dapat melihat putra dan suaminya. Pada 1 Juli 2009, Marwa ditusuk bertubi-tubi dengan 16 tusukan di ruang persidangan. Pada 1 Juli 2009, Marwa terbunuh di depan putra kecilnya. Suami yang berniat menolongnya terluka hingga koma akibat ikut tertusuk serta akibat tembakan salah sasaran dari polisi pengadilan.
Jantung saya berdegup kencang. Keringat dingin mengucur. Saya tak siap. Tanggung jawab yang harus saya pikul terlalu besar. Namun, saya sadar bahwa saya memang butuh sokongan dana untuk kuliah. Ditambah lagi, saya memang punya impian untuk menyebarluaskan konsep-konsep damai dan toleran berdasarkan nilai agama yang saya anut. Ini seperti mimpi menjadi kenyataan. Tapi, apa aku pantas?
Bagi saya, Marwa mengajarkan tentang keberanian. Marwa tidak berdiam diri, walaupun pilihan itu ada. Marwa memilih untuk melawan, saat dilecehkan secara verbal oleh tetangganya karena identitasnya. Seorang perempuan asing berhijab yang memiliki keyakinan; dia memerjuangkan haknya untuk menjadi diri sendiri.
Apabila Marwa memiliki keberanian luar biasa untuk melawan pelecehan verbal itu (yang berakhir dengan kehilangan nyawanya sendiri), maka saya pun harus berani menerima diri saya sendiri—dengan segala kekurangan dan kelebihan. Saya pun berdiri dengan tekad kuat saat pembawa acara memanggil nama saya. Sudah waktunya saya memberikan sebuah pidato singkat. Saya tersenyum dan melangkah ke podium. Ya, saya siap untuk berjuang. Saya siap untuk melawan rasa takut sendiri.
Sekarang, kepercayaan diri saya sudah membaik. Masih terjadi perlawanan di dalam diri untuk berani. Namun, saya banuak belajar untuk dapat menghargai diri sendiri. Tidak memandang rendah atas apa yang telah saya lakukan, sekecil apa pun itu. Saya harus bangga kepada diri saya sendiri dengan apa pun kekurangan saya. Saya juga sadar, bahwa menghargai diri sendiri merupakan hal paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk berterima kasih.
Terima kasih Marwa El-Sherbini untuk menginspirasi saya agar lebih berani dalam hidup.
Tulisan ini saya persembahkan untuk semua perempuan yang sedang berjuang. Entah untuk dirinya, orang yang dicintai, keluarga, ataupun masyarakat. Sekecil apapun itu, jangan memandang rendah apa yang telah kamu lakukan. Seberapapun kecilnya, perjuanganmu berarti. Bangga kepada dirimu. Terima kasih pada perempuan-perempuan yang telah berjuang!