top of page
  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon

Fake It 'Til You Make It


Pohon kebanggan di kampus saya yang berlokasi persis di depan Gedung saya, pohon ini juga menjadi saksi hidup dari perjuangan-perjuangan mahasiswa-mahasiswa yang berjuang di Tokyo University.

Saat saya mendaftar untuk mengambil Doktor di Tokyo University, yang kebetulan merupakan sekolah terbaik di Jepang, saya tidak menyangka saya akan diterima. Pikiran saya adalah seandainya pun saya harus mendaftar beberapa kali, dan gagal, biarlah, yang penting dicoba dulu. Namun saat berita penerimaan saya datang dan saya diterima untuk belajar di sana dengan juga menerima beasiswa dari Jepang, sesungguhnya setelah rasa senang yang pastinya ada, yang menerjang saya adalah rasa khawatir. Kekhawatiran saya yang utama adalah bahwa pada suatu ketika orang-orang yang menerima saya ini akan tahu bahwa saya sebenarnya tidak pantas belajar di sana.

Sesampainya saya di Tokyo, kotanya yang serba modern dan teratur, dan juga universitas saya yang megah makin membuat nyali saya ciut. Ditambah kedua Sensei (Dosen) yang menjadi pembimbing saya sangat brilian dan pintar, membuat saya makin minder untuk berkomunikasi dengan mereka. Teman-teman se-lab saya juga rata-rata memberikan aura penuh percaya diri dengan kompetensi yang juga tinggi, yang lagi-lagi membuat saya merasa makin tidak pantas berada di sana.

Saya berusaha keras untuk mengerjakan pekerjaan yang terkait dengan penelitian saya, namun saya tidak bisa mengerjakannya. Terlalu banyak hal mendasar yang saya tidak tahú, dan terlalu banyak standar dari Sensei saya yang tidak bisa saya penuhi, sehingga saya sering sekali dimarahi oleh Sensei saya. Memang Sensei saya tergolong orang yang sangat keras, dan metoda bimbingannya cenderung membuat takut, namun bagi saya yang perfeksionis dan tidak terbiasa mengecewakan siapa-siapa, setiap hari menjadi seperti siksaan. Setiap kali saya dimarahi, makin kecil saya merasa. Pada suatu ketika bahkan, Sensei saya meminta saya untuk mempelajari lagi dasar-dasar matematika dan físika, karena menurutnya level pendidikan di indonesia-lah yang membuât kemampuan saya kurang dalam menghadapi permasalahan penelitian. Saya sangat tersinggung saat itu, apa betul mentang-mentang saya datang dari sebuah negara yang masih tergolong miskin, saya tidak bisa dianggap sama pintarnya dengan orang-orang Jepang di sana?

Kebetulan juga karena bidang saya yang berada di Teknik Sipil, sedikit perempuan yang berada di sekitar saya. Kalaupun ada, mereka orang Jepang dan pada masa awal saya mengalami kesulitan berteman dengan mereka karena adanya keterbatasan bahasa dan budaya. Pada dasarnya memang dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk berteman dengan orang Jepang, padahal saya yang berada di luar negri sebatang kara saat itu benar-benar membutuhkan dukungan dari orang di sekitar saya. Untungnya saya menjadi dekat dengan beberapa teman laki-laki yang juga pelajar asing di lab saya. Setiap saya melakukan sebuah kegagalan dalam penelitian yang membuat saya dimarahi dan saya merasa kecil, saya datang ke mejanya untuk menangis diam-diam. Beruntunglah saya karena kehadiran teman lab saya itu yang mau-mau saja mendengarkan Keluh kesah saya.

Kedua sahabat terdekat saya di Laboratorium saya yang (hampir) selalu siap mendengarkan dan menyemangati saya, di kiri saya adalah Juan Carlos Pineda dari Paraguay, dan di sebelah kanan saya Arka dari Indonesia.

Budaya bekerja yang berbeda juga membuat saya merasa tidak bisa menjadi diri saya sendiri. Saya yang secara natural cenderung cerewet dan banyak omong merasa bahwa dengan kelakuan saya yang seperti itu, saya tidak akan bisa dihargai oleh Sensei saya. Saya lantas berusaha sebisa mungkin terlihat dewasa dan kompeten di depan si Sensei. Saya mencoba berpura-pura sebisa saya untuk menjadi wanita kompeten seperti yang mereka harapkan.

Pada saat itu saya juga baru saja mendengar TED Talk dari Amy Cuddy, seorang Professor di Harvard Business School, yang menjelaskan sebuah metoda sederhana untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam situasi yang menekan. Metoda itu melibatkan penggunaan Power Pose selama 2 menit sebelum kita bertemu dengan situasi yang kita tahu akan membuat kita takut atau ciut. Power Pose sendiri adalah sebuah pose yang menurut penelitian bisa meningkatkan rasa percaya diri, Power Pose bisa dilakukan dengan berkaca pinggang ataupun membuka tangan dan kaki lebar-lebar. Walaupun awalnya sangsi, setiap sebelum pertemuan dengan Sensei saya akan membuat Power Pose selama 2 menit di WC perempuan. Dan benar saja, ketika saya melakukan itu entah kenapa saya menjadi lebih baik menjelaskan maksud dan pekerjaan saya di depan Sensei. Saat itu juga, karena kebetulan saya rajin berlatih yoga untuk menjaga keseimbangan hidup dan pikiran saya. Sehingga pada saat-saat saya benar-benar takut, saya bahkan akan bermeditasi atau melakukan head stand, tripod, ataupun hand stand di depan kantor Sensei saya, sebelum saya harus masuk menemui Beliau. Hal ini juga saya rasa ada manfaatnya dalam penanganan saya terhadap perilaku Sensei yang cenderung mengecilkan orang lain.

Perlahan-lahan, semua hal kecil tersebut dan juga hasil kerja keras yang saya lakukan untuk Catch Up sama orang lain dan melakukan penelitian saya akhirnya berbuah. Pekerjaan saya makin lama menjadi makin baik dan makin cepat. Perasaan takut saya walau masih ada, perlahan-lahan hilang. Saya juga menjadi berusaha untuk menemukan outlet lain untuk menjadi diri saya yang lebih outgoing. Karena pada tahun pertama saya di Tokyo saya sering merasa kesepian, saya mencoba membantu siswa-siswa asing yang lain yang baru datang untuk merasa lebih nyaman dan aktif dalam penyambutan mereka. Mungkin hal tersebut membantu, sehingga saya terpilih menjadi Presiden Asosiasi Siswa Asing di Universitas saya.

Selain dari itu, karena bidang saya memang di pengembangan Energi Terbarukan, saya juga mendaftar untuk ikut serta dalam Program yang bisa memberikan wawasan aplikatif untuk pengembangan bisnis yang terkait isu perbaikan kondisi sosial dan lingkungan. Saya merasa sangat beruntung bisa diterima dalam program itu, dimana saya bisa belajar dari orang-orang dari banyak instansi terkemuka di dunia tentang cara melakukan perubahan sosial. Walau begitu hal yang membuat saya benar-benar merasa senang adalah karena saya merasa bisa lebih bebas mengeluarkan sisi diri saya yang outgoing di sana.

Akhirnya pada tahun ketiga saya di Tokyo, yang juga merupakan tahun terakhir sekolah saya, saya yang tadinya takut sekali bahkan untuk berada di kampus, telah merasa kampus menjadi sebuah rumah. Memang membutuhkan waktu yang panjang, tapi saya akhirnya merasa lebih kompeten dalam pekerjaan saya. Dalam beberapa kesempatan saya diceritakan oleh teman-teman lab saya bahwa seandainya mereka tidak bisa mengerjakan sesuatu atau lambat, mereka akan dibandingkan dengan saya; Sensei beralasan, seandainya Asih bisa, mengapa kamu tidak. Cerita-cerita seperti itu tentunya meningkatkan rasa percaya diri saya. Saya juga telah menemukan teman-teman yang baik, baik di dalam lab, atapun di kampus (ataupun di kelas Yoga), sehingga tidak lagi merasa kesepian.

Setelah tiga tahun berada di Jepang saya berhasil mendapatkan gelar Doktor dari Tokyo University. Gelar yang saya dapatkan memang berarti bagi saya, namun hal yang saya paling banggakan adalah diri saya yang berhasil melewati suatu masa yang tergolong cukup berat dalam mendapatkan gelar tersebut. Setelah pengalaman saya melewati itu, rasanya saya menjadi lebih percaya diri dalam menghadapi apapun yang akan menghadang saya nanti.

Saya saat wisuda di lorong kampus saya yang selalu membuat saya merasa seperti berada di Hogwarts (foto oleh Saru teman saya yang merupakan seorang fotografer berbakat dari Vietnam)


Related Posts

See All

Cerita Senapas

Kategori Cerita

Cerita Terbaru

bottom of page