Pada akhir tahun 2016, Ibu Tien menerima tawaran mengejutkan yang tak pernah disangka akan diterimanya di usia yang sudah menginjak lebih dari 70.
Ibu Tien Nuraesin lahir pada tahun 1942, dan pada umur 20 tahun, beliau diterima di Universitas Padjajaran sebagai mahasiswi jurusan Hukum. Dua tahun kemudian, ia menikah. Seperti pada umumnya bagi perempuan di zaman itu, mahasiswi cenderung tidak diperbolehkan melanjutkan kuliah, dengan harapan bisa fokus membesarkan anak-anaknya.
Selama beberapa tahun, hal itulah yang dilakukan oleh Ibu Tien. Mendedikasikan diri pada anak dan suami. Namun Bu Tien yang sangat energik dan penuh dengan spirit hidup memutuskan bergabung dengan organisasi Putri Parahyangan (semacam Mojang Jajaka pada zaman itu, red) pada tahun 1980, sebagai penasihat dan pemberi materi etika. Kemudian, beliau memutuskan membuka butik yang lalu menjadi terkenal di kalangan elite pada masa itu. Pada tahun 1992, beliau mengalihkan aktivitasnya ke Lions Club dan Persatuan Istri-Istri Insinyur Indonesia (PI3), di mana kecemerlangannya diakui dan membuatnya diangkat menjadi Ketua PI3 Jabar sejak tahun 2010 sampai 2016.
Dalam keberjalanan hidupnya, Bu Tien tidak pernah lepas dari mendukung anak-anaknya dalam pendidikan, memastikan bahwa semua mampu mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan tidak mengalami apa yang beliau alami dalam hal akademik.
Suatu hari, nama Bu Tien diajukan oleh sesama aktivis perempuan untuk mengikuti program khusus perkuliahan Sarjana Strata 1 di International Woman University (IWU) dengan jurusan Ilmu Komunikasi. Walau sempat bingung menimbang-nimbang bergabung atau tidaknya, akhirnya Bu Tien memutuskan untuk memulai kembali kuliahnya, “Saya pikir, mumpung saya masih sehat, sekalian juga menjaga kesehatan pikiran. Lagipula, kesempatan seperti ini, datang pada saya yang sudah berumur 75 tahun, kapan lagi?” ucap Bu Tien dengan semangat dan optimisme. Beruntungnya lagi, semua anak-anaknya mendukung dan bersedia membantu Bu Tien dalam menjalani kuliahnya.
Setelah puluhan tahun menerima kenyataan bahwa beliau tidak bisa mengenyam pendidikan sampai sarjana, Bu Tien akhirnya mampu memulai kembali, dengan semangat yang lebih besar. “Iya, agak sulit awalnya belajar lagi di usia seperti ini, mana buku-bukunya tebal-tebal banget, yaa… Untungnya anak dan cucu saya bisa bantu mengajari komputer dan kalkulator… Ini mau UAS belajarnya sampai jam 12 malam loh hahaha….” Bu Tien bercerita sambil memamerkan buku catatan dan buku-buku cetaknya. Dalam program tersebut, usia mahasiswi-mahasiswinya bervariasi, dengan usia termuda umur kisaran 40 tahun dan tertua 79 tahun. Bu Tien juga menambahkan bahwa kelasnya sangat kompak, saling mendukung dan menyemangati, mengatasi masalah-masalah yang mungkin ditimbulkan oleh keterbatasan umur, membuat kegiatan perkuliahan terasa kondusif dan menyenangkan.
Harapan Bu Tien, dengan adanya program ini (yang juga banyak disorot media), mampu memotivasi perempuan-perempuan di luar sana bahwa mereka bisa melanjutkan pendidikan kapan pun, “Untuk menambah wawasan dan ilmu itu tidak tergantung umur.” dengan mantap beliau mengucapkan kata-kata itu. "Nanti kalau saya wisuda, saya mau pasang foto toga saya berjejer dengan foto toga anak-cucu saya..." Ungkapnya disertai senyum.
Semoga semangat Bu Tien dapat menular pada perempuan-perempuan lainnya, dari berbagai usia dan daerah, dan semoga kegiatan perkuliahan beliau dan teman-temannya sukses!