Mimpi Seorang Ibu
Dulu semasa kuliah S1, saya memiliki banyak cita-cita. Melanjutkan kuliah di luar negeri, bekerja di perusahaan yang gedungnya tinggi, menjadi wanita independen yang berkeliling dari satu kota ke kota lain untuk urusan karir, dan lain-lain. Namun, setelah saya saya menikah dan memiliki satu anak, saya merasa harus merevisi kembali cita-cita itu dan menyesuaikannya dengan kondisi saya. Setelah menjadi ibu, saya merasa memiliki cita-cita ya tidak usahlah terlalu tinggi, harus rasional, bagaimanapun keluarga adalah yang utama. Saya sempat merasa jenuh dan tertekan menjadi stay at home mom, melakukan pekerjaan rumah tangga setiap hari, tidak ada habisnya, tidak ada istirahatnya. Bahkan saya merasa menjadi ibu rumah tangga lebih berat dibandingkan menjadi seorang wanita karir. Saya merasa menghadapi rumah berantakan dan anak tidak mau makan itu lebih menyiksa daripada ketika saya harus berangkat subuh hari dari Bekasi menuju kantor saya di Jakarta Pusat, berjejalan dengan ratusan manusia di gerbong KRL, lalu pulang sore hari dengan badan lelah dan bau keringat.
Mulanya, saya merasa cita-cita saya semasa kuliah sudah terkubur begitu saja. Meski saya tidak pernah merasa menyesal menikah di usia muda dan dikaruniai seorang anak perempuan yang menggemaskan. Saya pun bukan orang yang ambisius untuk mengejar ini dan itu, saya sadar saya tidak banyak berusaha. Yang terjadi kemudian saya hanya mengurung diri di rumah, menghabiskan waktu dengan menonton tv, dan pasrah pada keadaan. Saya tahu, mimpi saya bukan sekedar soal uang, karir, maupun prestis. Saya hanya butuh aktualisasi diri.
Beruntung, suami saya tidak pernah berhenti memberikan saya dukungan untuk tetap menyusun keping-keping mimpi itu. Ia pulalah yang mendorong saya untuk kembali mengirimkan aplikasi S2 saya ke beberapa universitas di Belanda serta melamar beberapa pilihan beasiswa yang ada. Dengan pesimis, saya mencobanya. Alhamdulilah, tahun 2014, kesempatan itu datang juga. Saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di University of Groningen, jurusan Medical Pharmaceutical Sciences. Kami sekeluarga pun hijrah ke kota kecil di ujung utara Belanda.
Menjadi Student Mom
Berkuliah ketika masih single, ternyata jauh berbeda dengan berkuliah ketika sudah menjadi ibu. Rasanya semua kesulitan yang pernah saya temui ketika kuliah dulu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan saat-saat kuliah di Belanda. Teman-teman sekelas saya banyak yang heran ketika mengetahui saya sudah menikah dan memiliki satu anak. Mungkin tidak lazim bagi orang Eropa menikah di usia muda, memiliki anak, lalu masih kuliah. Atau juga karena mereka beberapa dari mereka memang masih berusia 3-5 tahun di bawah saya, masih single. Sampai salah seorang teman saya pernah bertanya, “You’re doing a master while taking care of your family, is it hard?”
Memang berat, tetapi ini adalah pilihan keluarga kami. Apalagi ketika itu akhirnya suami mendapat pekerjaan tetap di kota yang tidak jauh dari Groningen. Artinya Runa harus dititipkan ke daycare. Sesuatu yang dulu sangat saya hindari ketika saya tinggal di Bekasi. Tetapi, kami tidak punya pilihan. Untunglah sistem Pendidikan anak dan daycare di Belanda sudah sangat terjamin dan teratur sedemikian rupa. Kekhawatiran saya pun perlahan hilang. Kami bergantian menjaga Runa, mengantar jemput Runa ke daycare, kadang menitipkan Runa pada sahabat kami di sini.
Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar. Runa sangat menikmati waktunya di sekolah dan di daycare. Ia juga tidak pernah merasa kekurangan perhatian dari kami. Walaupun saya kuliah dan ayahnya bekerja, kami selalu bisa menghabiskan banyak waktu bersama. Faktor kemudahan transportasi, tidak ada kemacetan, dan jam kerja yang efektif membuat kami bisa menyelesaikan tugas tepat waktu dan kembali ke rumah tanpa membawa banyak sisa pekerjaan.
Ujian paling berat untuk saya bukanlah ketika saya harus menghadapi remedial akibat gagal ujian, bukan juga ketika saya harus berjuang menyelesaikan research project saya. Tetapi ketika anak saya sakit, sementara saya harus tetap ke kampus. Hal itu sangat menyiksa. Suatu kali, saya harus presentasi riset awal di hadapan dosen-dosen di departemen Farmakoepidemiologi. Di saat yang bersamaan, anak saya yang saat itu berusia 3 tahun, malah sakit, muntah dan demam. Saya sangat panik, besok saya harus presentasi. Lalu siapa yang akan merawat Runa? Syukurlah suami bisa izin untuk tidak masuk kantor dan menjaga Runa di rumah, sementara saya ke kampus. Di sisi lain, saya merasa cemas juga untuk menghadapi presentasi. Saat itu akhirnya saya pasrah. Pikir saya, Ah sudahlah “ujian” presentasi ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan “ujian” anak sakit. Saya jadi tidak terlalu memberatkan pikiran saya untuk penampilan besok, yang penting hari itu terlewati. Dengan berpikir seperti itu, malah kondisi jadi lebih terkendali, presentasi pun dijalani tanpa beban.
Itu hanya satu dari banyaknya tantangan yang saya hadapi. Belum lagi momen-momen stres saat kerjaan menumpuk yang pernah saya alami tetapi tetap harus prima dalam urusan rumah tangga. Masakan gosong, anak menangis, tugas kuliah belum selesai, rumah berantakan, perut lapar tapi masakan belum tersedia. Rasanya isi kepala ingin keluar. Kalau hal seperti itu terjadi, biasanya saya berhenti dulu mengerjakan tugas di depan mata. Istigfar dan tarik nafas dalam, panjang, dan banyak. Pertama yang diurus adalah anak dulu, itu yang utama. Urusan rumah dan masakan yang belum selesai, tinggalkan. Lebih baik saya mengajak anak saya refreshing keluar rumah. Ada winkelcentrum (pusat pertokoan) di dekat perumahan saya tinggal. Cukup cuci mata sebentar melihat dunia luar agar pikiran bisa lebih jernih. Lalu mungkin bisa jajan yang bisa membuat suasana hati membaik, biskuit, chips, cokelat, roti, patat, atau minuman favorit.
Jika banyak pekerjaan belum selesai juga. Biasanya saya menunggu suami pulang dulu. Setelah dia selesai makan, salat, dan ganti baju, saya akan minta waktu untuk dia bersama anak saya. Sementara saya bisa mandi dengan air hangat dulu, menyamankan diri. Selanjutnya saya bisa mengerjakan tugas dengan tenang. Obat terbaik selama masa-masa sulit adalah curhat pada Allah, minta diberikan kesabaran dan kekuatan dalam menjalani semuanya. Penting juga mengontrol emosi dan memiliki managemen stres yang baik. Saya kembali lagi saya mengingat langkah awal saya di sini bersama keluarga. Allah sudah memberikan jalan yang terbaik untuk saya dan keluarga, saya pun harus menjalaninya dengan sebaik-baiknya.
Banyak hal yang bisa disyukuri di dalam kesulitan yang saya hadapi. Yang terpenting adalah kerja tim yang baik antara suami dan istri. Sampai akhirnya saya bisa menyelesaikan studi saya dengan baik, Alhamdulillah. Walaupun tugas belajar saya sudah selesai, bukan berarti cita-cita saya berhenti sampai di situ saja. Saya tidak ingin berhenti belajar. Menempuh pendidikan ke jenjang berikutnya masih ada dalam wish list saya. Semoga masih ada jalan untuk menjalaninya, aamiin. Saya merasa sebenarnya perempuan bisa melakukan apapun yang dia impikan (tentu dengan ridho suami bagi yang sudah menikah), asalkan ia sendiri yang yakin pada kemampuannya. Tadinya saya pikir adalah hal mustahil untuk bisa mencicipi kembali bangku kuliah, ternyata bisa dijalani. Banyak tantangan, banyak belajar, dan banyak trial error yang saya hadapi. Keluarga justru menjadi pendorong utama untuk saya menggapai cita-cita tersebut.
So, untuk ibu-ibu yang punya cita-cita untuk kembali berkarya di bangku kuliah, jangan ragu dan jangan takut, Insya Allah akan ada jalannya. Saat kita meminta dan berdoa pada Allah, Allah pasti mendengarkan. Allah sangat senang pada hambaNya yang meminta pertolongan. Panjatkanlah banyak-banyak cita-cita itu.
Ketika pertanyaan “So, is it hard?” datang lagi pada saya, kepala saya kemudian memutar potongan lirik salah satu mars kampus yang dulu cukup popouler, “Oh I do believe, We shall overcome someday..” Maka jawaban saya: “It’s challanging, but we shall overcome..”. Ya, kami, bukan saya. Karena saya berjuang bersama keluarga saya.