The Mirah dengan ketiga anaknya
Nama saya Dewi Ratna Mirah, tapi orang yang dekat dengan saya biasa panggil Mirah atau Teh Mirah. Selama enam tahun ini, jalan hidup membawa saya dan keluarga kecil saya bertualang di Jepang, tepatnya di Tokyo.
Dua tahun lalu saya diberikan kesempatan untuk kembali ke dunia kerja. Pada pekerjaan pertama saya di negeri rantau itu saya menjadi pengajar anak-anak usia pra sekolah di sebuah Sekolah Internasional yang baru didirikan.
Pada saat itu pula putri pertama saya duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar, sedang putra kedua berusia dua tahun, dan belum lepas menyusui. Saat saya memutuskan untuk bekerja, secara otomatis saya harus memastikan anak-anak saya berada di tempat yang aman selama saya bekerja, dan itu bukan perkara mudah. Di Jepang ada permasalahan kurangnya kapasitas hoikuen (tempat penitipan anak), sehingga terdapat persaingan ketat untuk mendapat spot di hoikuen, suatu hal yang menjadi problem utama para ibu bekerja di Tokyo. Namun beruntunglah semesta mendukung saya, dan putra kedua saya bisa masuk hoikuen di dekat rumah.
Di dalam pekerjaan saya, saya menjadi asisten harian yang bekerja bersama staf Jepang mendampingi anak-anak belajar dan bermain di sekolah. Kenapa jadi asisten padahal saya punya pengalaman mengajar selama bertahun-tahun di Indonesia sebelumnya? Yah, itulah salah satu konsekuensi punya visa dependent yang hanya punya izin kerja 28 jam seminggu. Selain itu, itulah konsekuensi menjadi seorang pengajar asal Asia di negara Asia lain.
Walau begitu di tempat ini saya tetap bisa bekerja dengan identitas muslim saya, yaitu dengan berkerudung. Awalnya saya sempat khawatir akan ada anak-anak dan orangtua murid yang ketakutan melihat guru muslim. Tapi ternyata memang anak-anak berjiwa jernih. Mereka merespon saya sama dengan guru lainnya, dan ikut tertarik dengan cara saya dan beberapa teman muslim melakukan ibadah harian kami, shalat.
Dalam dunia pekerjaan, bahasa dan budaya kerja adalah tantangan terbesar. Di tahun pertama, saya adalah satu-satunya staf non-Jepang yang bekerja dari Senin sampai Jumat, dan setiap harinya staf harian hanya 3-4 orang. Di masa-masa awal banyak rumusan kerja yang harus kami diskusikan bersama. Sebagai staf internasional, bekerja dengan dua orang Jepang menguji mental dan kesabaran saya. Sistem kerja dan cara mereka menerima ide-ide baru membuat saya sering tidak paham dengan atribut orang Jepang yang terkenal sebagai pendengar yang baik dan pengertian. Saya ingat betul betapa saya sampai putus asa membuat mereka paham tentang suasana belajar sekolah internasional, dimana 90% dari murid mereka tidak bisa berbahasa Jepang dengan lancar, dan banyak hal lainnya. Tapi waktu dan proses adaptasi kelihatannya memberikan banyak efek baik bagi saya dan mereka. Perlahan-lahan kehidupan di dunia kerja menjadi lebih baik.
***
The Mirah bergaya di depan mobil-mobil antik
Ketika saya muda, keinginan saya untuk melanjutkan sekolah pernah tertunda karena orangtua saya mendahulukan kebutuhan pendidikan adik lelaki saya. Memang suatu saat, ia akan menjadi kepala keluarga, dan saya sangat memahami hal itu..
Beruntunglah saya berjodoh dengan seorang laki-laki yang mudah saya ajak diskusi. Pasangan saya ini memberikan pandangan luas tentang pentingnya seorang perempuan meraih apa yang merupakan mimpinya, yang bagi saya adalah melanjutkan pendidikan ketika anak sudah lebih dari satu. Dia memberikan saya ruang pemahaman dan rentang kompromi yang luas untuk berkarya dan belajar dengan satu syarat: saya tidak boleh menyerah. Menurutnya inti bersekolah dan berkarya adalah latihan menguatkan mental dan merendahkan ego seorang manusia terhadap manusia lain. Dia ingin kami menjadi manusia yang lebih baik agar anak-anak bisa belajar bersama dengan kami.
Setelah satu tahun bekerja, akhirnya kesempatan bersekolah hadir di depan mata. Saya diperkenalkan kepada seorang dosen Antropologi budaya yang sangat fasih berbahasa Indonesia. Beliau mengizinkan saya untuk belajar sebagai Research Student di departemen tempatnya mengajar. Di saat yang sama Tuhan juga memberikan saya tugas baru, dengan kehamilan anak ketiga saya. Jangan tanya bagaimana rasanya diberi dua tanggungjawab baru di saat yang bersamaan. Saya bahagia, bingung, kaget, sekaligus sedih karena pada saat itu saya belum ingin menambah anak. Di otak saya langsung terbayang hidup yang harus dijalani dengan konsekuensi dari kehamilan itu; dari mulai perkara sekolah saya yang saya jalani tanpa beasiswa, ribetnya jadwal periksa kehamilan dan juga cuti kerja untuk kurun waktu lama yang pastinya akan saya ambil.
Segala bayangan kalkulasi ini sempat membuat saya down berminggu-minggu. Di saat itu saya sering sekali menyalahkan suami kenapa tidak berhati-hati, dan lain sebagainya. Saya juga ketakutan akan pandangan dosen pembimbing dan lingkungan kerja atas kondisi saya.
Tapi ada satu hal yang saya lupakan saat itu. Kehadiran anak tidak ada hubungannya dengan pembagian rezeki, dan kehamilan adalah berkah terindah seorang perempuan dalam perjalanan hidupnya.
Ternyata waktu dan lingkungan yang membantu saya kembali bangun. Lingkungan kerja dan dosen memberi dukungan penuh atas kehamilan ini. Anak dalam rahim tumbuh dengan sehat. Kehamilan itu menjadi kehamilan tersehat yang pernah saya alami. Saya dikelilingi keluarga yang supportif, murid-murid yang membuat tertawa setiap hari, dan manusia-manusia baik hati yang terus memberikan semangat; semua hal yang membuat diri ini merasa hidup kembali. Kehamilan ini membantu saya melihat sisi lain dari kehidupan yang belum pernah saya alami sebelumnya. Manusia boleh berencana, tapi Tuhan lebih paham versi hidup yang terbaik untuk makhluknya.
***
Hidup dengan tiga anak memang istimewa. Secara finansial kami bangkrut, karena saya harus mengurangi jam kerja, sedangkan uang dibutuhkan untuk bayar kuliah, membiayai dua anak sekolah, biaya periksa kehamilan, dan menyiapkan sisa uang persalinan yang tidak tertanggung asuransi. Di saat yang sama pekerjaan suami pun sedang sulit-sulitnya. Tapi suami saya selalu mengingatkan saya untuk tidak menyerah, dan berdamai dengan situasi.
Tapi hidup harus terus berjalan, dan yang kami lakukan adalah berkompromi dengan situasi tersulit yang kami alami. Dari situ lah saya belajar menerima dan pasrah akan jalur hidup yang sudah Dia atur tanpa harus menyerah untuk berusaha melakukan yang terbaik. Termasuk ketika anak saya lahir tepat sehari sebelum Ujian Masuk Universitas berlangsung, sehingga saya tidak dapat mengikuti ujian. Entah kenapa saya tidak kecewa sama sekali walaupun segala persiapan Ujian sudah saya lakukan.
***
The Mirah dengan Putrinya yang ketiga
Saat ini saya sedang belajar menikmati hidup yang berjalan dua kali lebih lambat dari hidup saya 7 bulan yang lalu. Saya pun harus menerima kenyataan yang terjadi pada banyak ibu bekerja di Asia yang harus meninggalkan dunia kerja sementara untuk mengasuh anak. Ya, pekerjaan dan perusahaan tidak bisa terlalu lama menunggu seorang pegawainya di posisi yang sama untuk tinggal di rumah dan mengurus anak, walaupun hak itu ada. Saya masih bisa bekerja, namun posisi dan jam kerja saya sudah tergantikan orang-orang baru yang mengerjakan tugas saya yang sebelumnya. Saya kecewa dengan kenyataan ini, tapi saya pernah mengalami masalah yang lebih sulit, jadi saya percaya pasti ada jalan keluarnya.
Menjadi perempuan itu istimewa, dan menjadi istimewa itu tidak mudah. Secara budaya, perlindungan terhadap perempuan sangatlah tinggi, dan hal tersebut disertai dengan konsekuensi tentang ekspektasi dan aturan yang beragam tentang bagaimana caranya hidup sebagai perempuan yang “ideal” secara social dan budaya. Banyak sekali perempuan yang sudah berkeluarga dan punya anak yang bertarung melawan kegelisahan dirinya untuk mendapatkan perasaann “I’m feeling alive” dalam kesehariannya, mungkin mereka berjuang untuk mendapatkan haknya untuk melanjutkan pendidikan, atau kembali ke dunia kerja yang ia senangi, bukan semata-mata karena uang. Banyak juga perempuan di luar sana yang berjuang mencari arti kehidupan secara mandiri tanpa pasangan hidup seperti konsep ideal masyarakat pada umumnya. Dan karena tekanan terhadap citra ideal perempuan itu, pada akhirnya, banyak perasaan yang tersimpan karena ketakutan perempuan untuk mengungkapkan apa yang ia inginkan dalam hidupnya tanpa ditanggapi prasangka apapun. Oleh karena itulah support antar perempuan dibutuhkan. Bukan untuk membandingkan siapa yang lebih beruntung dari siapa, tapi untuk belajar saling mendengarkan, saling mengolah rasa, dan pada akhirnya bisa bilang “Everyday may not be good, but there is always something good in everyday”.
Penulis: Dewi Ratna Mirah, Editor: Asih