Nama saya Diah. Sudah sedari kecil saya tertarik dengan dunia engineering, lebih tepatnya automotive engineering, dan alhamdulillah sampai sekarang jalan hidup saya masih dimudahkan untuk meniti pendidikan dan karir di bidang tersebut.
Saya berasal dari kota kecil bernama Madiun di Jawa Timur. Di tahun akhir SMA, berdasarkan konsultasi dengan beberapa senior dan beberapa sumber, saya mantap untuk meneruskan pendidikan sarjana di bidang Teknik Mesin karena kecocokan jurusan tersebut dengan minat saya. Tahun 2006 saya diterima di jurusan Teknik Mesin di salah satu perguruan tinggi di Bandung, maka dimulailah hidup saya sebagai minoritas dalam hal gender. Dari sekitar seratus lima puluh orang dalam angkatan saya, hanya enam orang dari kami perempuan. Sejak saat itu saya mulai membiasakan diri berada di bidang yang didominasi kaum pria.
Saat mendalami dunia teknik mesin saya menyadari bahwa ternyata cakupan ilmu Teknik Mesin sangat luas, dan banyak dari bidang yang terkait Teknik Mesin menarik bagi saya. Namun, di tahun 2010 saya diingatkan kembali dengan ketertarikan saya dengan dunia automotive saat mengikuti kompetisi kendaraan hemat bahan bakar. Saat itu saya mulai belajar men-develop kendaraan. Kami diharuskan men-design, membuat prototype, hingga menguji kendaraan tim kami. Dan sejak saat itulah saya mantap memperdalam pengetahuan di bidang tersebut.
Setelah lulus sarjana, saya ingin meneruskan pendidikan di luar negeri, lebih tepatnya di Jerman, sebuah negara yang kiprahnya di dunia automotive sudah tidak diragukan lagi. Namun pada saat itu beasiswa untuk pendidikan lanjutan sebagian besar hanya untuk para akademisi, padahal saya ingin berada di jalur industri. Tak patah akal saya memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan uang dan pengetahuan untuk modal studi di Jerman. Saya kemudian bekerja di sebuah perusahaan alat berat sebagai research and development engineer selama tiga tahun. Bisa dibayangkan berapa jumlah wanita di perusahaan tersebut, terlebih sebagai Research & Development Engineer.
Selama bekerja di perusahaan tersebut, saya mendapat kesempatan untuk terlibat dalam development sebuah Off Road Truck dengan Gross Vehicle Weight sebesar 100 ton dari awal. Di proyek inilah saya banyak belajar tentang development kendaraan, dan passion saya pada kendaraan niaga, lebih spesifiknya truck, muncul.
Diah menyupir sebuah Truk untuk Retarder Test
Keterlibatan saya dalam proyek Truck Development ini, membulatkan tekad saya untuk melanjutkan studi. Saya menyadari bahwa banyak kendala yang saya temui dalam proyek tersebut bersumber pada kekurangtahuan saya di bidang ini. Saya makin ingin tahu bagaimana caranya men-develop truk dengan benar, bukan hanya untuk produksi, tapi dari mulai pembuatan konsep hingga produk siap diproduksi masal.
Kurang lebih tiga tahun setelah proyek dimulai, saya melanjutkan pendidikan saya di RWTH Aachen, Jerman. Saya mengambil jurusan Automotive Engineering dan saat ini saya sedang menulis thesis saya di bagian Vehicle Integration, Mercedes Benz Truck di Stuttgart.
Setelah sebelas tahun menjalani hidup sebagai minoritas dalam hal gender di bidang automotif, ditambah juga posisi minoritas dalam hal etnis selama hidup di Jerman, saya bisa katakan bahwa hidup sebagai minoritas bukan perkara mudah. Tak jarang saya harus mengeluarkan usaha lebih hanya untuk diberi kesempatan untuk meyakinkan orang bahwa saya mampu.
Baik secara sadar atau tidak, masih ada bias di masyarakat tentang kemampuan perempuan. Siapa pula yang akan percaya saya, seorang perempuan berbadan kecil, bisa mengetest retarder performance yang terpasang pada Truk dengan Full Load 40 Ton di turunan 20% di sebuah tambang yang masih aktif beroperasi. Dari luar saja trucknya tampak jalan sendiri.
Diah saat sedang melakukan Brake Test
Walaupun saya berharap akan ada perubahan mengenai prejudice orang terhadap kemampuan perempuan, saya tidak berekspektasi hal ini akan berubah secara signifikan dalam waktu dekat. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah berusaha lebih keras, gigih dan kembali bangkit tiap ada kegagalan. Saya tidak akan berhenti mencoba sampai mimpi saya terwujud. Memang butuh waktu, namun lama kelamaan, minimal pandangan orang-orang dalam lingkungan saya yang penuh dengan mas-mas, pakdhe-pakdhe, bahkan kakek-kakek pun akan berubah.
Dari semua kekeras kepalaan saya, beruntunglah saya memiliki orang tua yang sangat mendukung keinginan saya. Setelah kakak saya meninggal di saat saya kuliah di Bandung, saya mengerti bahwa ada keinginan besar dari orang tua untuk melihat putra-putri mereka menetap dan membangun rumah tangganya sendiri. Namun di tengah usia yang sudah tidak muda lagi, mereka masih mengerti dan tetap mendukung serta mendoakan keputusan yang saya ambil.
Diah Selfie dengan teman-temannya dalam mengambil Master Thesis
Saya juga ingin mengungkapkan kekaguman saya untuk semua perempuan yang senasib dengan saya. Perempuan yang berkarir di sarang penyamun. Saya masih ingat obrolan saya dengan kolega saya di Mercedes Benz Truck tentang maraknya perempuan di sini yang mendapat promosi. Pada awalnya dia keukeuh dengan pendapat bahwa tidak seharusnya perempuan-perempuan ini dianggap lebih hebat hanya karena mereka perempuan. Kemudian saya tanggapi dengan argumen bahwa perempuan perempuan tersebut memang hebat. Untuk apa dia masih bertahan di tempat yang secara alami bukan habitatnya, motivasi mereka bukan hanya sekedar uang. Mereka memiliki alasan lebih untuk bertahan, dan alasan itu bagi saya adalah passion saya di bidang ini. Dan saya harap, bertahun tahun dari sekarang, saya masih memilikinya untuk terus membawa saya lebih dekat pada mimpi dan harapan saya.
Penulis: Diah Wulandari, Editor: Asih