Kepulanganku ke Indonesia dari sekolah master di Belanda dua tahun lalu adalah satu titik kehidupan yang bisa dibilang cukup berat bagiku. Ditambah setelah itu aku langsung ditempatkan di sebuah kota besar bernama Jakarta. Tidak pernah sekalipun aku bayangkan sebelumnya bahwa aku tinggal dan hidup (serta mencari penghidupan) di Jakarta. Bagiku Jakarta itu menakutkan. ‘Lebih baik terasing di pedalaman dibanding aku harus berteman dengan jahatnya ibukota’, begitu janjiku. Tetapi ternyata, Semesta berkata lain. Tanggung jawabku untuk keluarga yang akhirnya memaksaku untuk memilih pekerjaan di Jakarta. Dengan segala dilema, ketakutan, keraguan, dan sisa pilihan yang tersedia maka pada akhir tahun 2015 aku memutuskan untuk memulai pekerjaan di Jakarta – dan menjadi warga urban di kota megapolitan itu.
Kembali ke Indonesia kupikir bukanlah hal yang sulit, toh Indonesia adalah rumahku. Ternyata, pulang ke ‘rumah’ dengan diri yang berbeda menjadi sebuah tantangan. Banyak hal yang kini tidak sesuai dengan apa yang menjadi pegangan nilai. Aku pun dicap sok bule lantaran punya banyak pemikiran aneh tentang berbagai hal, baik yang kecil maupun hal-hal prinsipil.
Meskipun hidupku diisi dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, ternyata hidup di kota megapolitan yang menyeramkan itu nyatanya tidaklah mudah. Banyak penyesuaian, hal baru, kebiasaan yang tidak bisa kumengerti dan rasanya tidak akan pernah mampu aku pahami.
Jakarta mempertanyakan lagi definisiku tentang menjalani kehidupan. Mana yang benar, mana yang salah. Mana yang bisa kuterima, mana yang tidak boleh kutolerir. Sempat aku pada akhirnya kehilangan arah dan jati diri. Karena yang kuanggap benar, ternyata bukan yang dipercaya oleh umum. Dan yang kuanggap tidak pantas, ternyata menjadi sebuah kebiasaan di gemerlapnya dunia Jakarta.
Banyak hal yang mengganggu dan mungkin hingga kini tidak bisa kuterima. Aku tidak pernah mengerti konsep kehidupan di mana aku harus terjebak di sebuah perjalanan yang perlu ditempuh lebih dari satu jam untuk jarak yang kurang dari lima kilometer saja. Aku tidak paham bahwa aku harus selalu merasa waspada (kalau tidak mau dibilang was-was) kapan pun di mana pun – entah was-was ditabrak saat berjalan di trotoar, atau dicopet saat naik busway, atau mengalami pelecehan saat naik kereta commuter. Aku tidak paham konsep bahwa keramahan berarti kelemahan (you have to be so cool and stiff to get respect by most people in Jakarta – trust me, I experienced this many times). Bahwa kota yang berjalan dengan sangat cepat ini, ternyata tidak dibarengi dengan ketepatan waktu – dan keterlambatan adalah sebuah kewajaran.
Chacha sering merenung bagaimana warga Jakarta mampu bertahan ditengah kemacetan yang harus mereka hadapi tiap harinya
This city moves so fast and I could not handle the pace
Jakarta bagiku adalah the real jungle, ketika semuanya adalah tentang berjibaku dan berjuang. Beberapa kali rasanya aku ingin menyerah. Tetapi, sesaat kemudian yang terlintas adalah menantang diriku sendiri, untuk bisa hidup di tempat dan kondisi yang jauh dari kata nyaman. Aku bilang sama diriku sendiri, kalau kamu bisa survive dan selamat hidup di sini, maka kamu bisa hidup di mana saja – because you already conquered the concrete jungle in the world. Maka di Jakarta kuputuskan untuk tetap bertahan dan menjadi dewasa.
Terlepas dari segala gemerlap dan kemewahannya, kehidupan di ibukota tidak membuatku bahagia. Malahan, beberapa kali aku mengalami mental breakdown. Banyak perjalanan kulewati dengan tatapan kosong, malam-malam yang kulalui dengan menangis tanpa suara, atau mimpi buruk yang tidak berkesudahan. Satu tahun pertama hidupku di kota ini seperti dalam mode auto-pilot. Tidak ada lagi pencapaian dan ambisi, tujuanku saat itu adalah bagaimana aku bisa bertahan hidup dengan waras setiap hari. Itu saja. Tidak kurang, tidak lebih.
Kondisi mentalku saat itu secara tak sadar telah mempengaruhi fisikku. Tahun 2016 menjadi fase di mana aku menjadi tamu bulanan rumah sakit – bahkan beberapa kali bahkan harus berujung ke ruang gawat darurat. Ada saja penyakit yang kukeluhkan, yang pada akhirnya tidak pernah diketahui apa yang salah dengan tubuhku. Semuanya ada di dalam pikiranku. Semua keresahanku tentang kehidupan di Jakarta tidak pernah benar-benar kuceritakan kepada siapa-siapa, kecuali kepada Tuhan dan suamiku. Bahkan keluargaku pun tidak pernah tau kalau aku menjadi pelanggan setia rumah sakit dan pengonsumsi segala jenis medikasi yang mengobati entah apapun itu. Rasanya aku begitu malu untuk menceritakan kepada teman-temanku betapa aku begitu lemah, tidak bisa bertahan di kota yang sejatinya adalah rumahku sendiri. Padahal mereka pun sama, namun telah lebih dulu berjuang di sini, dan mereka bertahan dan tetap menjalankan kehidupan tanpa banyak keluhan.
Aku berusaha percaya saja, keresahan ini hanya sementara.
Tahun 2016 resmi pada akhirnya menjadi fase terendah dalam hidupku. Aku menutup diri. Lebih banyak memilih untuk tinggal di rumah dibandingkan bertemu siapa. Hari-hariku selama tahun 2016 hanya diisi dengan berkontemplasi dan merekonstruksi kembali alur kehidupan. Suamikulah saksi nyata pertempuran batinku selama satu tahun kemarin. Ia yang senantiasa memberikan dorongan dan pilihan: berpindah atau bertahan. Ia yang senantiasa berkata bahwa: it’s okay not to be okay, embrace it but keep moving.
Kehidupan yang berjalan begitu cepat membuat Chacha merasa butuh untuk berhenti dan melihat kembali apa yang penting untuknya dalam hidupnya
And so, I keep moving.
Pada akhirnya aku tidak pernah benar-benar berdamai dengan Jakarta, karena memang tidak perlu. Yang aku perlu adalah berdamai dengan diriku sendiri. Berdamai dengan takdir Semesta yang kini menempatkanku untuk menjadi manusia urban. Satu hal yang membuatku terus bertahan, adalah kepercayaan, bahwa apapun yang dituliskan untukku tentunya itu yang terbaik untukku. Tiap-tiap fase di hidupku tentunya dihadirkan untuk mengajarkan sesuatu.
Di Jakartalah aku belajar untuk menegosiasi kehidupan dan berkompromi dengan keadaan. Ada hal-hal yang harus disesuaikan. Ada beberapa yang perlu didiskusikan. Ada banyak hal yang ditelan saja, tidak perlu terlalu dipikirkan.
Dari seorang Bapak tua yang senantiasa kutemui di bis setiap pagi menuju Jakarta, aku menyadari bahwa Jakarta pada akhirnya adalah sebuah perjuangan untuk bertahan hidup – baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang-orang yang mereka cintai atau mencintai mereka.
Di setiap perjalananku di transportasi publik atau momen-momenku berada di tengah keramaian, aku berusaha memandangi wajah-wajah yang ada di depan mataku. Mempertanyakan mereka yang hingga kini masih saja hidup di Jakarta. Commuting setiap hari di perjalanan, melewati puluhan kilometer setiap subuh dan malam, kehilangan waktu dengan orang-orang kesayangan, ‘hanya’ demi sebuah penghidupan. Lagi-lagi aku mempertanyakan, apa yang dicari? Penghidupan seperti apa yang harus dijalani? Sering sekali aku bertanya-tanya dan berusaha menerka, bagaimana orang-orang ini bisa bertahan hidup di Jakarta? Apa resepnya? Sungguh, aku ingin tau dan belajar kepada mereka.
Chacha menyadari Jakarta adalah sebuah perjuangan untuk bertahan hidup
“Di sini semua orang berada pada in the state of trying. trying to get home, trying to get work, trying to make money, trying to find a better sale, trying to stay, trying to leave, trying to work things out. Jakarta is a labyrinth of discontent” (Ika Natassa dalam novel Critical Eleven)
Dari kemacetan di tol menuju Jakarta setiap paginya aku belajar tentang bersyukur dan menghargai hal-hal kecil yang sering kali datangnya ternyata tidak diduga-duga. Sekecil semburat sinar mentari yang terbit dan tenggelam menemani perjalanan setiap hari. Begitu indahnya karena tidak pernah kusangka aku akan menemukan banyak kecantikan di langit Jakarta. Sekecil jalanan yang tiba-tiba lancar, atau bisa selamat sampai rumah sebelum matahari terbenam. Atau dari para supir truk yang kepanasan bertemankan asap kendaraan, penjual asongan yang setia berjualan di tengah kemacetan, atau dari para penumpang bis komuter yang tetap berdiri tegak agar bisa cepat sampai tujuan. Pada akhirnya, aku mencapai sebuah penyadaran – lebih mudah untuk bersyukur dibanding mengeluh di kota ini.
Dan hari ini, Jakarta telah menempaku menjadi diriku yang jauh berbeda dari sebelumnya. Bahwa bertumbuh adalah tentang menempatkan diri di tempat yang paling tidak nyaman dan kita bertahan di dalamnya – untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Bahwa menjadi dewasa adalah tentang metoleransi segala pahit manisnya kehidupan, baik buruknya peradaban, dan segala hal di dunia yang tidak bisa kita selesaikan.
“Jakarta is so powerful. it changes people, it breaks people, it makes people, it shifts values, every single second it comes in touch with them. Jakarta membuat semua yang ada di dalamnya harus meredefinisikan semua tentang dirinya. makna rumah, keluarga. waktu. Redefining what matters, and what doesn’t.” (Ika Natassa dalam novel Critical Eleven)
Jakarta sebuah kota dengan kekuatan untuk mengubah orang
Aku memang mungkin tidak akan pernah benar-benar melebur dengan kota ini. Biarlah ia menjadi dirinya, dan aku menjadi aku – yang menjadi bagian dari dirinya. Begitu pun dengan Jakarta yang kini mungkin telah menempati satu puzzle kecil dalam diriku. Jakarta dan aku mungkin akan selalu menjadi pertempuran. Hari ini aku menilik ke belakang. Betapa Tuhan dan Alam Semesta-nya berkonspirasi dengan begitu baiknya untuk membentuk aku menjadi aku yang sekarang. Jakarta pernah menarikku jauh dan kehilangan diri, tetapi ialah yang kini membuatku lebih tegap dalam berdiri. Aku bersyukur bahwa aku tidak menjadikan menyerah dan melarikan diri sebagai jawaban. Aku tetap di sini, menghadapinya dan menyelesaikannya – dengan dan bersama diriku sendiri. In good or bad, at the end only yourself can save your soul.
Karena, yang paling dasar dalam kehidupan adalah tentang bertahan dan meneruskan perjalanan. Bukan diam lalu tenggelam.
Hari ini aku benar-benar mengamini sebuah kalimat tentang kenyamanan yang pernah dituliskan oleh salah seorang temanku di Belanda dulu,
“There will be a time when my comfort zone is expanding. Stretching towards all directions. Painful and discomfort in the beginning. But in the end, I will be able to see the wider horizon and exquisite sparkling dazzling star in me. And during the journey, God speaks more intense to me" – (Yossy Ayu Aulia, 2015)
***
penulis : Anisha Maharani
editor : Mira Vitania, Asih