top of page
  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon

Stepping out to find Yourself

Pada suatu sore, saya tersadar bahwa saya tidak tahu saya mau apa. Sebenarnya sudah jalan beberapa bulan sebelum itu saya merasa stuck dengan kehidupan personal dan profesional saya. Sejauh yang saya ingat, inilah pertama kalinya saya mempunyai perasaan “gak tau mau ngapain”. Bagi saya yang merupakan seorang Planner, tidak tahu mau melakukan apa, apalagi tidak punya rencana untuk apa yang mau saya lakukan kedepannya, adalah masalah besar.

 

Sekitar 2,5 tahun yang lalu, terjadi pergantian management di perusahaan tempat saya bekerja. Seperti perubahan yang umum terjadi di suatu organisasi, dampak dari perubahan ini sampai ke Middle Management. Dari sudut pandang profesional, ada posisi yang naik namun ada juga yang turun. Kebetulan pada saat itu saya ditawari posisi baru di Middle Management, yang menyebabkan saya menjadi salah satu dari mereka yang naik. Saat saya cerita ke beberapa teman, mengenai tawaran ini, mereka langsung menyelamati saya. Anehnya bukannya bahagia seperti yang mungkin seharusnya saya rasakan, saya merasa, I cannot do this, ini bukan waktu yang tepat untuk saya.

Pernyataan ini kontras dengan apa yang saya pikirkan dan saya cita-citakan hingga saat itu. Sebagai seorang profesional, tentunya tawaran ini merupakan hal yang menarik dan logikanya saya harus menerima tawaran ini, apalagi dengan calon Bos Baru dan orang Human Resources yang terus berusaha meyakinkan saya bahwa saya pasti sanggup berada di posisi ini. But despite this when I was trying to convince myself, again and again my heart concluded that it is not the right time. Akhir dari pergulatan hati dan otak ini dimenangkan oleh otak, dengan alasan itulah jawaban yang masuk akal.

Saya jalani posisi baru saya dan menutup telinga atas gonjang ganjing di sekeliling saya yang tidak menyukai perubahan yang terjadi pada Middle Management. Gonjang ganjing yang mempertanyakan kepantasan orang-orang yang mendapatkan tawaran untuk naik, dimana saya termasuk seseorang yang dipertanyakan. Saya berpikir sebagai seorang professional, setelah memutuskan mengambil tawaran ini, saya akan menjalaninya secara profesional. This is professional, personal matters must be set aside .

Namun semakin saya menjalani peran baru saya, saya merasa tantangan semakin berat. Anehnya tantangan bukan datang dari luar namun justru muncul dari dalam diri sendiri. Saya semakin merasa ilmu saya masih kurang untuk menjalani posisi baru saya. Di saat yang bersamaan saya merasa semakin minder dan takut akan gagal. Rasanya saya menjadi orang lain, bukan diri sendiri.

Masalah ini coba saya komunikasikan dengan atasan dan Divisi Human Resources, termasuk dengan keluarga dan inner circle saya. Dari berbagai masukan, akhirnya saya memutuskan untuk mengambil kuliah S2 Jurusan Bisnis Management di salah satu universitas swasta di Jakarta. Saya mengambil jurusan ini dengan alasan untuk mendukung pekerjaan. Selain memang keinginan pribadi yang tertunda karena berbagai alasan. Jadwal kuliah yang di luar jam kantor, membuat keinginan saya didukung oleh perusahaan, jadilah saya kuliah dengan full beasiswa dari kantor.

Ternyata kuliah S2 secara part time tidak semudah yang saya bayangkan. Tidak lama setelah memutuskan untuk kuliah, saya harus bolak balik sebulan sekali ke Bali untuk pekerjaan. Mencoba menjalani beberapa hal baru secara sekaligus, proyek baru dan posisi baru di kantor dan juga kuliah, terasa sangat berat. Walau begitu selama beberapa saat saya masih hidup dalam ‘denial’, saya mencoba meyakinkan diri saya bahwa saya bisa tetap melanjutkan kuliah sambil bekerja, dan bahwa saya masih memegang kontrol keadaan saya saat itu. Saat itu saya merasa pada saat saya sedang berkuliah S1 dulu, saya bisa kok menjalani peran saya sebegai Performance Manager di Organisasi Student Orchestra dimana saya harus menangani 20-30 orang pada tiap penambilan dan peran saya sebagai Asisten Dosen dan Asisten Kelas Internasional sambil saya bekerja menyelesaikan Tugas AKhir saya. Itu 3 pekerjaan dan ini hanya 2 pekerjaan, harusnya bisa lah. Entah itu kepercayaan diri atau kesombongan yang tiba-tiba muncul seperti iklan di sosial media yang tiba-tiba pop up tanpa diminta.

Suatu hari di kampus, seorang teman saya bicara, "Jar, kenapa ya beberapa kali gw ngrasa lu ada disini tapi kayak ga disini.” Di saat itu saya merasa, ini saatnya saya harus melakukan sesuatu, ada yang salah dalam diri saya. Ternyata seberat apapun saya berusaha untuk membuktikan diri saya “bisa”, saya hanya semakin capai. Baik sekolah maupun pekerjaan pun keteteran, alhasil performance saya turun. Saya sampai beberapa kali dipanggil Human Resoures untuk counseling, namun saya tetap tidak bisa menjawab pertanyaan “ada apa dengan saya”.

Di ujung rasa capek yang tidak bisa dijelaskan dan diselesaikan dengan tidur, saya pun memutuskan untuk mengajukan unpaid leave. Berbagai alasan menjadi pertimbangan pengambilan keputusan itu, tapi alasan paling kuat adalah saya ingin mencari tahu ada apa dengan saya dan apa yang saya mau. Saya 5-10 tabun yang lalu jika dihadapkan dengan dua pertanyaan itu, tidak akan membutuhkan waktu lama untuk menjawabnya, namun saya yang saat itu, tidak bisa menjawab kedua pertanyaan sederhana itu. Satu-satunya yang muncul dalam pikuran saya adalah saya ingin melakukan sesuatu yang tidak biasanya saya lakukan, bertemu dengan orang asing, dan memutuskan sesuatu yang bertolak belakang dari biasanya. I want to be somebody else, just to see myself from someone else's shoes

Selama unpaid leave, saya bertemu dengan teman-teman lama yang sudah lama tidak pernah saya temui. Saya mengikuti kegiatan sehari-hari mereka dan menginap di rumah mereka. Seringkali saya bertanya apa mereka menikmati apa yang mereka lakukan, apa keinginan mereka, apa mereka happy, apa ini kehidupan yang mereka inginkan sejak kecil, apa cita-cita mereka, atau sekedar mendengarkan cerita mereka tentang pertemanan kami.

Fajar bersama teman-temannya

Saya juga melakukan perjalanan dengan sahabat ke Vietnam. It was a place I never imagined I would visit. All I think about when I hear Vietnam is war memorial and Halong Bay, nothing else. Perjalanan ini salah satu yang saya lakukan dalam rangka belajar untuk mengikuti keinginan sahabat saya. I don't know why they want to go there but it’s ok for me. I let them arrange everything, I just follow. Although I’m not a follower, but I let myself be a follower. I’m a planner but I let somebody else plan for me.

Selama kurang lebih 2 bulan pertama unpaid leave, saya merasa enjoy dan bisa tidur. Surprisingly, I could reach deep sleep, something that was difficult for me before. Saya merasa deep sleep itu sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang sepertinya bertahun tahun tidak saya rasakan. Namun dibalik rasa enjoy itu, saya seringkali merasa marah dan sedih terhadap diri sendiri yang berujung pada saya menangis setiap malam. Ternyata saya belum baik-baik saja, dan deep sleep bukan solusi atas masalah saya. Teman saya memberi saran agar saya berkonsultasi dengan psikolog karena menurut dia saya mempunyai masalah di bawah sadar. Walau secara sadar saya tidak merasa ada masalah tapi tubuh saya merespon berbeda, mungkin ada emosi yang tertahan menumpuk seperti gunung berapi di bawah tanah. Ketika tanahya terkikis (dalam hal ini secara fisik capek saya berkurang) gunungnya mulai meledak (emosi yang tertahan mulai keluar). Begitulah cara teman saya menjelaskan dengan bahasa yang mudah saya mengerti.

Fajar saat berjalan-jalan

Demi menyelesaikan masalah saya yang belum teridentifikasi tersebut, saya kemudian ke psikolog. Singkat cerita psikolog ini meng-amini penjelasan teman saya mengenai kemungkinan adanya masalah yang tersembunyi di bawah sadar saya. Saya pun mulai berkonsultasi dengan psikolog dan banyak belajar mengenai psikologi. Awalnya ada rasa malu dan enggan untuk pergi ke psikolog. Seperti kebanyakan orang, saya berpikir bahwa pergi ke psicologo hanya untuk orang gila, namun stigma ini keliru. Kita ke psikolog bukan untuk meminta jawaban atau minta obat gila. Justru tugas utama psikolog hanya ‘meluruskan’ dan membantu mengidentifikasi masalah setiap orang, sehingga memudahkan pasien untuk menyelesaikan masalahnya.

 

Bertemu teman-teman sudah, jalan-jalan sudah sampai bertemu psikolog pun sudah. Semua hal yang saya lakukan ini akhirnya membantu menjawab pertanyaan kedua saya, "Apa yang mau saya lakukan?". Jawabannya saya harus mempunyai tujuan baru dan tantangan baru yang menarik. Akhirnya saya merasa siap untuk mengambil posisi baru saya di kantor. Sedangkan untuk personal life, saya merasa sudah saatnya untuk settle down dan mencari hidup yang lebih seimbang. Walau saya menghargai pelajaran dan tantangan yang telah saya pilih selama ini, sebagai seseorang yang suka ‘berlari’, saya berkesimpulan bahwa ada kalanya kita perlu berhenti sejenak untuk melihat sejauh apa kita sudah berlari, apakah kita akan tetap berlari di jalur yang sama, atau sekedar untuk tau apa kita sudah merasa ‘fullfiled’ dengan semua yang sudah kita capai.

Dari masa-masa unpaid leave saya, saya mengambil kesimpulan bahwa hidup itu tidak ada SOP (Standard Operation Procedure)-nya, setiap orang boleh dan bisa berbeda-beda tujuan, cara mencapai tujuan pun bisa berbeda-beda. Kita yang memilih tujuan, cara bahkan definisi hidup kita sendiri. Kita juga perlu aware dengan kondisi diri kita sendiri, jangan meremehkan stres, karena stres kadang tidak terlihat dan juga terkadang susah untuk didefinisikan. Jika dibutuhkan, jangan ragu untuk minta bantuan ahli seperti psikolog apabila diperlukan. Belajarlah untuk mencintai diri kita. Semakin kita mencintai diri sendiri, kita tahu apa yang kita punya. Ketika kita tau kelebihan dan kekurangan diri, kita pun mampu menghargai dan mensyukuri apa yang kita punya. Inilah yang menjadi modal untuk mencapai apapun dalam hidup.

‘Hidup itu tentang menghargai, memaknai apa yang kita punya, kita inginkan, dan kita cita-citakan. Melihat perbedaan dengan sudut pandang yang menghormati sehingga kita dapat menilai sesuatu dengan bijak. Itulah yang membuat hidup lebih berarti. '

Penulis: Fajar Dewi Arumsari

Editor: Asih


Related Posts

See All

Cerita Senapas

Kategori Cerita

Cerita Terbaru

bottom of page