Ilustrasi karya Aulia Amanda
Saat itu, matahari bersinar terik di atas kepala padahal belum pukul setengah tujuh. Gerombolan anak-anak berpakaian putih merah berdiri di lapangan. Upacara tiap hari Senin selalu dipenuhi keriuhan. Mulai dari yang berkeluh-kesah karena cuaca panas hingga yang asyik menceritakan apa saja kegiatan mereka pada akhir pekan lalu.
Di tengah-tengah itu, seorang gadis kecil berdiri tegak. Punggungnya lurus kaku. Kepalanya tertunduk menatap tanah; sungguh kontras dengan seluruh posturnya yang kelihatan tegak. Kemudian, matanya menangkap sosok yang terlalu ia kenal. Seketika seluruh tubuhnya terasa dingin.
Sosok itu, anak laki-laki yang satu kelas dengannya, berjalan mendekat. Gadis kecil itu berharap mata mereka tak bertemu. Jantungnya berdegup terlalu kencang. Suara di kepalanya terus mengulang mantra yang sama, “Jangan kelihatan, jangan kelihatan, jangan ke—”
“Oi, keriting!” Anak laki-laki itu berteriak lantang sambil menunjuk ke arahnya.
Seketika, anak-anak lain di sekeliling mereka tertawa.
“Keriting! Udah pendek, keriting lagi!” Anak itu melanjutkan.
Sementara, si gadis kecil hanya berharap dirinya bisa hilang ditelan Bumi saat itu juga.
.
Gadis kecil itu adalah saya. Delapan belas tahun yang lalu. Untuk kali pertama—dan akan menjadi sebuah perjalanan panjang, saya mengalami bullying.
Sejak kecil saya diajarkan untuk selalu mendengarkan dan berhati-hati dalam bicara, Sebab, salah kata bisa membuat seseorang sakit hati. Saya ingat benar itu adalah ajaran ibu dan nenek saya. Sebab, kata mereka, sebagai manusia kita harus menjaga perasaan satu sama lain. Maka, saya sangat terkejut ketika seorang murid pindahan laki-laki tiba-tiba menatap saya dengan mata mengejek dan tertawa keras. Mengejek rambut saya yang keriting dan badan saya yang kurus. Awalnya saya tidak peduli; dikira akan cuma sekali dua kali.
Namun, dia tak henti mengejek saya di sekolah. Dan, parahnya beberapa teman di kelas pun turut mulai mengejek saya. Saya diam saja, karena tidak tahu harus berbuat apa. Apa salahnya saya dengan rambut keriting? Apa salahnya saya punya badan kecil dan kurus?
Bukankah menyakiti perasaan orang lain secara sengaja itu salah? Kenapa semua orang diam saja? Kenapa teman-teman perempuan saya tidak membela? Kenapa para guru tidak memarahi anak-anak yang mengejek saya?
Memori masa SD saya dipenuhi hal-hal buruk. Hingga saat ini, saya bisa menghitung jari berapa kali saya benar-benar menyukai momen di sekolah. Sedihnya, tak lebih dari sepuluh jari di tangan. Ketika saya meninggalkan SD dan masuk ke jenjang SMP, saya bersyukur tidak perlu bertemu dengan teman-teman SD.
Saat SMP, saya berusaha membuat pertemanan baru. Namun, lagi-lagi saya kurang beruntung. Belum saja satu semester di sekolah, saya sudah diejek oleh beberapa anak perempuan. Rambut keriting saya selalu jadi bahan ejekan utama, dilanjutkan dengan cara bicara saya yang katanya aneh. Aneh, karena saya cadel huruf ‘S’.
Ejekan mereka tidak pernah berhenti, hingga saya tidak mau masuk sekolah. Ada fase selama kurang lebih tiga bulan di mana saya sering sekali bolos dengan berbagai alasan. Orang tua saya pun mulai mencemaskan saya yang tiba-tiba jadi pendiam dan mudah marah. Saya menolak untuk berbicara dengan siapa pun mengenai ini, termasuk kepada psikolog. Mulut saya benar-benar tertutup rapat.
Toh, waktu SD saja tidak ada yang bisa menolong, kenapa sekarang ada yang berpikir bisa menolong saya?
Memasuki SMA, saya sudah mempelajari dua hal dari masa SD dan SMP. Pertama, jangan mudah percaya dengan orang lain. Kedua, jangan bergantung dengan orang lain. Kedua hal itu muncul setelah saya menumpuk begitu banyak kemarahan. Kemarahan terhadap orang-orang yang seharusnya menjadi teman malah melihat saya sebagai bahan ejekan. Kemarahan terhadap orang lain (termasuk guru) karena mereka tidak pernah bisa mencegah bullying ini.
Sejak saat itu, saya berubah menjadi pribadi yang mudah curiga. Saya pun menjaga jarak aman dengan orang lain dalam pertemanan. Waktu itu, saya berpikir dengan menjaga jarak, saya tidak akan mudah sakit hati dan disakiti. Sayangnya, keputusan saya untuk menjaga jarak sering kali diasalah artikan oleh teman-teman satu kelas. Mereka menganggap saya sebagai pribadi yang dingin, tidak mau tahu dengan urusan orang, bahkan tidak sensitif.
Saat kelas 2 SMA, beberapa teman mulai menjauhi saya. Awalnya saya tidak sadar, karena saya lama-lama terbiasa melakukan segala hal sendiri. Pada akhirnya, saya menyadari ada yang salah ketika tak ada satu pun yang mau duduk sebangku dengan saya. Bahkan, tidak ada yang mau satu kamar dengan saya ketika karya wisata sekolah. Mereka selalu tersenyum di depan saya, tapi membicara di belakang.
Dalam hati, saya berkata kepada diri sendiri, “See, Ala, that’s why you can’t trust people. See Ala, that’s why you do not reveal your true self in front of others. They can hurt you. Build the wall between you and people; do not let themselves in. Protect yourself.”
Kalimat-kalimat di ataslah yang saya pegang ketika beranjak dari remaja menjadi dewasa muda. Saya mengulang kalimat itu berkali-kali di dalam kepala dan saya belajar untuk tidak langsung terjun dalam pertemanan. Saya belajar untuk tidak mudah terbuka dengan orang lain, tapi mengikuti arus pergaulan pada saat bersamaan. Orang-orang tidak boleh tahu bahwa saya punya ketakutan besar untuk disakiti. Secara tidak sadar, saya membangun pribadi yang keras terhadap diri sendiri. Saya menganggap bahwa setiap kekurangan (baik itu dalam pertemanan dan pekerjaan) adalah hasil dari kesalahan yang saya lakukan.
Oleh karena itu, tak jarang orang menganggap saya keras kepala dan perfeksionis. Mereka mengira saya memang tidak suka jika ada celah dalam pekerjaan. Padahal, saya takut kesalahan itu akan membuat orang-orang marah dan ujungnya membuat saya sakit hati.
Terdengar melelahkan? Sangat.
Pola pikir itu telah membatasi saya dalam pergaulan dan hubungan romantis. Saya berkali-kali berhubungan dengan laki-laki, tapi selalu berakhir dengan sebuah ketakutan di mana hubungan itu akan berakhir tidak baik. Saya bahkan pernah dua kali membicarakan pernikahan dalam dua hubungan yang berbeda. Namun, saya selalu mundur. Saya tidak berani mengambil langkah lebih.
Ketakutan saya telah memasuki tahap yang tidak wajar, hingga tahun lalu saya didiagnosis mengalami depresi. Saat itulah, saya seolah mendapat pukulan yang sangat telak. Saya menangis berhari-hari di bawah selimut; mempertanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidup saya. Mempertanyakan sampai mana saya mau seperti ini. Mempertanyakan sampai kapan saya akan didefinisikan oleh kenangan buruk masa kecil.
“Ala, don’t you want to be happy?”
Satu pagi, saya terbangun dengan pertanyaan itu.
Saya menarik napas panjang; berusaha menata kembali isi pikiran saya. Perlahan, saya menata kembali apa yang ada dalam diri saya. Ketakutan. Kekecewaan. Kemarahan. Dan, hal-hal yang membuat saya bahagia.
Setelah itu, saya pun secara bertahap memberanikan diri ‘melepas’ apa yang membuat saya tidak bahagia. Salah satunya, hubungan saya yang entah sejak kapan menjadi hampa serta membebani diri saya—pressure untuk menikah dan berkeluarga, Saya juga berusaha tidak seperfeksionis dulu. Saya belajar bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini dan saya tidak bisa membuat semua orang senang.
Saya kembali memberanikan diri memperluas pertemanan. Saya belajar kembali bahwa ‘disakiti’ adalah bagian dari hidup manusia. Tanpa rasa sakit, manusia tidak akan tahu bagaimana bahagia. Saya belajar untuk percaya bahwa bahkan orang yang kita cintai pun suatu saat nanti akan pernah membuat kita sakit hati.
Saya belajar untuk berdamai dan mencintai kenangan-kenangan sedih ketika saya bersekolah, sebab tanpa mereka tidak akan ada diri saya yang sekarang.
Ya, saya akhirnya percaya bahwa di luar sana memang ada orang-orang yang menerima diri saya apa adanya. Yang bukan hanya tertawa bersama ketika bahagia, tapi memeluk saya erat ketika larut dalam kesedihan. Yang mencintai saya dalam segala kelemahan.
Tulisan ini adalah untuk mereka.
Penulis: Alamanda Hindersah