Sudah banyak kutipan mengenai cara menguasai diri sendiri, misalnya,
'Ingin mengubah dunia? Mulailah dengan mengubah diri sendiri’,
atau kata Pak Ustad,
'Musuh terbesar seorang manusia adalah diri sendiri';
'Objek dakwah terpenting seorang Nabi atau rasul adalah dirinya sendiri';
'Batas antara seseorang dan kesuksesannya hanyalah dirinya sendiri'.
Nah, di sinilah letak masalahnya: melawan diri sendiri adalah hal yang sulit.
Halo, Saya Susan. Saya pernah beberapa kali merasa sebagai orang berhasil karena orang lain memandang saya telah mencapai kesuksesan-kesuksesan berikut. Kuliah di perguruan teknik negeri di Bandung, lah. Lulus S2 dengan beasiswa di luar negeri, lah. Multi-talenta, lah. Sering naik pesawat, lah. Bekerja di dunia ‘ideal’, lah. Sudah menikah, lah... Dan...sebagainya yang normal untuk memicu rasa dengki bagi sebagian orang lainnya. Tentu semua diraih dengan izin-Nya, privilege, kerja keras dan kegagalan yang tak sedikit. Saya akui semua “keberhasilan” saya adalah terutama karena privilege yang luar biasa banyak dari Tuhan yang memberikan saya kemudahan untuk belajar serta lingkungan yang mendukung. Hal-hal inilah yang kemudian mengantarkan saya kepada lingkungan baru lain. Lagi-lagi, lingkungan baru itu pun lebih mendukung dan begitu seterusnya.
Misalnya, untuk sekolah di luar negeri, saya memiliki dukungan dari ayah yang juga memiliki pengalaman belajar di luar dengan beasiswa. Ayah saya pun otomatis mengetahui cara-cara mendapatkan beasiswa, maka ia mengenalkan saya pada lingkungan lain yang mendukung tujuan saya. Meskipun begitu, saya tetap harus bekerja keras dengan mencoba sebanyak tujuh kali beasiswa yang berbeda sebelum akhirnya mendapatkan satu yang berhasil.
Semua pencapaian itu terasa lebih mudah; bekerja keras untuk suatu tujuan yang diinginkan. Akan tetapi, situasi sekarang berbeda: tidak memiliki tujuan, tidak memiliki keinginan, tidak tertarik melakukan apa pun. Maka, apakah yang perlu diperjuangkan? Kini, lawan saya adalah rasa ketidakinginan, ketidaktertarikan akan apa pun, rasa hambar. Dengan kata lain, saya memulai fase hidup bernama depresi.
Depresi ini sebenarnya sudah lama menemani saya. Sejak tiga tahun lalu, kira-kira. Hal menyenangkan yang biasanya dirasa seru, seperti hobi-hobi saya yang dahulu beraneka ragam, sekarang tidak lagi membuat saya tertarik. Kegiatan sehari-hari, pekerjaan, dan bertemu orang yang tidak dekat secara emosi, menjadi hal-hal yang saya hindari karena merasa lebih baik diam saja di rumah dan sendirian. Secara garis besar, saya merasa hidup ini hambar dan tampak dari luar seperti kehilangan energi atau kadang berupa kesedihan yang terus menerus. Bila semua serasa hambar—tidak menarik dan sama saja, wajar jika mulai memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup. Tak ada satu pun yang bisa memancing rasa ketertarikan akan hidup. Namun sejauh ini, saya masih enggan menemui psikolog, karena begitu gejala timbul, hari kemudian saya merasa baik-baik saja. Timbul tenggelam. Seperti itu hingga sekarang.
Sejauh ini saya masih merasa baik-baik saja karena memiliki teman-teman dekat (meskipun jauh secara fisik) serta suami. Mereka mengerti dan menyemangati saya dengan rasa sayang yang mereka bagikan. Saya sempat meminta bantuan via online kepada seorang psikolog yang menyarankan kepada saya agar kembali menelaah sebab-sebab saya depresi. Kemudian, saya pun merenungkan penyebab-penyebab tersebut.
Faktor utama yang pertama adalah bahwa saya selalu berusaha mengikuti ekspektasi. Entah itu target/ekspektasi diri sendiri ataupun orang lain. Faktor utama kedua adalah saya kurang menyalurkan pendapat/keinginan/ekspresi jujur diri sendiri. Setelah mengetahui kedua faktor ini, saya pun berusaha untuk benar-benar menjadi diri sendiri dan mengedepankan keinginan diri sendiri. Selain itu, saya harus tetap melakukan hal-hal yang mengurangi gejala depresi seperti berolahraga, makan dan tidur secara teratur, bermeditasi atau memiliki waktu hening. Sebisa mungkin saya harus mengurangi stress. Untuk penyaluran pendapat dan berekspresi, saat ini saya berusaha untuk terus menulis. Menulis untuk mendokumentasikan pemikiran baru atau untuk sekadar berbagi sedikit ilmu yang saya miliki. Atau, sekadar meluruskan pikiran dan perasaan yang kacau. Aplikasi text-to-speech bernama Speechnotes—aplikasi di mana kita merasa seperti berbicara kepada seseorang (ibarat berbagi cerita) sekaligus mendokumentasikannya dalam tulisan—menjadi pilihan saya. Aplikasi khusus lain yang membantu saya adalah Depression CBT untuk merekam mood harian dan Flo (untuk wanita) untuk merekam gejala sakit fisik.
Di sisi lain, pemikiran bahwa saya mengalami depresi ini memberikan kesempatan bagi saya untuk melihat hidup dari perspektif yang berbeda. Contohnya, saya tak berani merasa iri pada hidup orang lain, terutama jika menilai dari ketenaran media sosialnya. Saya menyadari keberkahan dan kebahagiaan hidup seseorang tidak tercermin hanya berdasarkan apa yang ia pilih untuk ditampilkan kepada publik. Saya juga jadi sangat pemilih terhadap definisi ‘kebahagian’. Misalnya, hanya hal-hal tertentu sajalah yang membuat bahagia dan nyaman di hati. Yaitu, hal-hal yang lahir dari kejujuran, mengandung pesan rela berbagi/berkorban dan hal-hal yang menyeluruh; bukan sesuatu yang sekedar tampak indah dari permukaan.
Sehingga, pada tahap ini, saya juga dapat mempertanyakan diri sendiri untuk apa meraih semua ‘kesuksesan’ saya di awal jika sebenarnya bukan itu yang benar-benar saya inginkan. Namun, pada saat bersamaan, saya belajar bahwa meskipun tanpa rasa suka, saya tetap bisa meraihnya. Ini juga sebagai pembuktian diri bahwa saya cukup kuat dalam melawan diri sendiri (mungkin juga terlalu kuat hingga diri sendiri tidak didengar). Semoga saja saya semakin peka terhadap perasaan saya sendiri dan merasa cukup berharga untuk mengekspresikan pendapat diri.
Saya cukup sering berandai-andai menjadi penulis buku cerita. Cerita singkat ini mungkin bisa menjadi pencapaian sederhana dari pengandaian itu. Mudah-mudahan dengan tulisan dan gambar yang ikut saya sertakan di sini, akan memudahkan Anda untuk mengerti diri sendiri ataupun orang lain yang mungkin mengalami hal serupa.
Penulis: Susan
Editor: Ala, Asih