Hartini adalah perempuan yang sangat patuh pada norma agama dan budaya yang melekat dalam kehidupannya. Kebaikan hati dan kesantunan berpakaian tidak lantas membuatnya terlindung dari hal tak terduga di kehidupan. Baginya hidup tidak adil, meskipun akhirnya dia tahu kehidupan memberi pelajaran berharga tentang bagaimana menjadi kuat.
Mengapa?
Karena, kekerasan adalah makanan sehari-hari yang didapatnya semenjak pernikahannya yang pertama hingga pernikahan keempatnya.
1996 – 1999
Pernikahan pertama Hartini diliputi oleh kekerasan secara ekonomi. Suaminya tidak memberikan nafkah ekonomi selama satu tahun dan meninggalkannya tanpa sebab. Hartini berusaha berdamai dengan kondisi tersebut dan berusaha tetap bangkit. Dia mencari modal usaha, berdagang sekaligus menjadi guru di daerahnya. Setiap hari, Hartini berdoa agar sang suami mau kembali. Doa tersebut pun dikabulkan oleh Tuhan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapannya. Sang suami melihat kondisinya yang baik-baik saja saat ditinggalkannya, malah menuduh Hartini macam-macam dan melakukan kekerasan fisik kepadanya. Hartini tidak tahan, dia memutuskan untuk bercerai. Dari pernikahan pertamanya, Hartini memiliki seorang anak perempuan.
2002 – 2004
Tiga tahun setelah bercerai, Hartini bertemu dengan seseorang. Dia memantapkan hati dan berdoa; semoga pernikahannya kali ini adalah pernikahan yang terakhir. Sayang, dewi fortuna belum berpihak kepadanya. Setelah menikah, dia baru mengetahui bahwa sang suami ternyata memiliki pasangan di luar pernikahan mereka dan juga anak dengan pasangan tersebut. Hal itu diketahuinya saat tengah mengandung usia tiga bulan. Hartini kembali larut dalam kelam, dia sangat marah dan merasa ditipu. Perceraian kembali menjadi ujung dari pernikahannya, kesedihan dan luka hatinya semakin bertambah saat sang buah hati meninggal karena kebocoran jantung di usia 6 bulan setelah dilahirkan.
Hidup, oh hidup.…
Begitulah Hartini merenungkan apa ada yang salah dalam dirinya. Dua pernikahan yang di jalaninya tidak pernah berbuah manis. Padahal, dia berusaha mengikuti apa kata orang tuanya tentang bagaimana seharusnya perempuan bersikap dalam sebuah pernikahan. Hartini manut dan tunduk. Namun, yang didapatnya hanyalah kekerasan yang terus berlanjut. Hartini pun berdoa; kelak suatu hari dia akan dipertemukan dengan seseorang yang jauh lebih baik, dan dapat menyayangi dirinya serta anaknya. Tuhan mengabulkan doa Hartini dan mempertemukannya kembali dengan seorang pria yang menjadi suaminya.
2005 - 2008
Pernikahan ketiganya dimulai dengan kisah manis dan awal yang baik. Doa-doa Hartini benar dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Kebahagiaan terus bergulir sampai sang suami mulai mengurungnya di rumah. Hartini tidak boleh keluar untuk bekerja ataupun bepergian jika sang suami tidak ada. Dia pun patuh, tidak melawan. Jika melawan pun, suaminya tidak akan sungkan memukul atau menamparnya.
Beberapa lama setelah pernikahan, dia mengandung dan melahirkan seorang anak laki laki. Sayangnya sang anak jatuh sakit di usia empat bulan. Sakit yang tak kunjung sembuh dan membuat Hartini kebingungan. Di usia sembilan bulan anak laki-lakinya meninggal dunia. Belakangan Hartini mengetahui bahwa sang anak meninggal karena terinfeksi HIV yang melemahkan kekebalan tubuhnya.
Kejamnya, sang suami sejak awal sang anak sakit telah mengetahui kondisi tersebut dan merahasiakannya. Dia malah beranggapan bahwa infeksi yang dialami sang anak adalah kesalahan prosedur medis. Prosedur pemeriksaan HIV yang seharusnya juga dijalani kedua orang tua ditolak mentah-mentah. Jiwa raga Hartini telah hancur karena kehilangan anak, serta mendapatkan kekerasan berlapis. Suatu hari, Hartini memutuskan untuk lari dari rumah dan meminta cerai.
Kegagalan di tiga pernikahan awal, kehilangan dua orang anak, pelan-pelan menghancurkan Hartini. Pada tahun 2008 setahun setelah anaknya meninggal, Hartini jatuh sakit. Dia teringat kepada anak laki-lakinya yang meninggal karena HIV. Lalu, Hartini memeriksakan diri.
Setelah pemeriksaan, Hartini pun tahu bahwa dia terinfeksi HIV dari suami ketiganya, yang ternyata tidak setia.
2011 – 2012
Selama tiga tahun, Hartini memutuskan untuk tidak berhubungan dengan siapa pun. Dia memfokuskan diri ke pengobatan dan pemulihan kondisinya. Waktu-waktu ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Hartini untuk berefleksi atas apa yang telah terjadi dalam kehidupannya. Hartini mulai aktif membantu sesama teman pasien HIV di rumah sakit. Kebaikan serta ketulusan hatinya, membuatnya dijodohkan dengan salah satu pasien di rumah sakit yang juga terinfeksi HIV.
Harapan akan kehidupan yang jauh lebih baik tidak pernah pupus; perjodohan tersebut disambut dengan hati yang gembira. Sebuah pernikahan sederhana digelar oleh keluarga. Namun.... Lagi-lagi, mengapa Hartini tak diberi ruang untuk bahagia? Hartini menyadari betul, bahwa suaminya adalah mantan pecandu narkoba. Yang tidak ia ketahui adalah hobi suami dalam berjudi. Uang yang dimilikinya selalu saja dihabiskan di meja judi. Upaya demi upaya Hartini lakukan agar suaminya berhenti dari kebiasaan buruk tersebut. Sayangnya, suami Hartini lebih mencintai judi daripada Hartini sendiri. Perceraian kembali terjadi, di pernikahan yang keempat.
2013 – 2017
Perjalanan Panjang kehidupan Hartini menghadapi kekerasan dalam rumah tangga selama enam belas tahun tidak lantas membawanya tenggelam dalam kelam kehidupan. Setelah terinfeksi HIV, dia merasa seperti diberi kesempatan kedua untuk belajar menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Hartini mengevaluasi diri dan bertanya adakah yang salah dari setiap langkah yang diambilnya. Hingga akhirnya Hartini bertemu dengan Ikatan Perempuan Positif Indonesia, yang membuka matanya mengenai pentingnya memahami Hak Kesehatan Seksual dan Kesehatan Reproduksi.
Dia menyadari enam belas tahun tersebut terjadi karena minimnya informasi dan pemahaman diri akan hak kesehatan seksual dan reproduksi. Hingga saat kekerasan demi kekerasan terjadi, Hartini tak mampu mengelak. Pada akhir tahun 2013, Hartini bertemu dengan seorang pria yang hingga kini menjadi suaminya. Seorang pria yang mau menerima kondisi HIV nya. Pria yang mau bersama-sama dengannya membangun tim yang solid bernama rumah tangga. Hartini terlahir kembali; dia yang sekarang adalah sosok yang benar-benar berbeda dalam menyikapi berbagai persoalan hidup. Pemahaman mengenai diri yang didapat telah menguatkannya untuk membangun komunikasi yang baik dengan pasangan.
Hartini, pada usianya yang 37 tahun, kini dikarunia seorang anak perempuan yang sehat dan tidak terinfeksi HIV. Dia juga mengikuti program pencegahan HIV dari orang tua kepada anak. Menikahi suami yang tidak terinfeksi HIV dan mampu menerima kondisinya, merupakan sebuah hadiah manis setelah perjalanan panjang ini. Sekarang, Hartini juga aktif menjadi Advocacy Officer di Ikatan Perempuan Positif Indonesia. Dia berjuang dengan dan untuk teman-teman perempuan yang hidup dengan HIV di Indonesia.
Dan, Hartini bertahan untuk tetap hidup; tidak mengalah oleh keadaan yang berkali-kali menjatuhkannya.
Catatan editor:
Cerita kali ini memang tidak biasa, karena menggunakan sudut pandang ketiga. Namun, kami percaya bahwa kisah yang dituturkan lewat teman baik kami, Mbak Ayu, ini tidak akan mengurangi makna dan refleksi yang bisa diambil dari perjalanan hidup Hartini.
Penulis: Ayu Oktariani berdasarkan cerita nata dari Hartini
Editor: Ala