We check our phone as soon as we’re awake.
Jika kamu tidak seperti itu, maka biarkan aku menceritakan kisahku. Aku termasuk orang yang selalu melihat smartphone sesudah bangun tidur, Aku akan men-scroll layar tanpa arah, untuk menemukan sesuatu yang menarik. Instagram bagiku memberikan kesempatan untuk melihat sedikit dari hidup orang lain.
Pada suatu hari, aku melihat sebuah update baru. Pertama, ia datang dari mantanku, yang memperlihatkan dirinya sedang berlibur sambil berpegangan tangan dengan pacarnya yang baru. Postingan ini mendapatkan 100 love. Kedua, mantanku yang lain mem-posting dirinya dengan jas dan dasi, ia sedang menghadiri sebuah acara keluarga. Post ini memiliki caption yang menarik dan hidupnya terlihat sungguh baik-baik saja. Lalu, aku menemukan sebuah postingan dari seseorang yang dulunya merupakan teman baikku. Di dalam postingan itu ia memperlihatkan kehidupan barunya di luar negri yang penuh petualangan, yang disertai dengan caption yang positif. Postingan ini rasanya seperti menusukku. Orang-orang ini adalah orang-orang yang baru saja bertengkar denganku di dunia nyata.
Setelah melihat postingan-postingan itu, aku merasa hidupku tidak bermakna, sedih dan banyak kurangnya. Dari post-post itu, aku menyimpulkan bahwa mereka tidak memiliki masalah, bahwa orang-orang itu bahagia dengan mendapat dukungan dan cinta dari ratusan orang melalui sosial media. Mereka baik-baik saja tanpaku. Kebahagiaan mereka dan apa yang terlihat sebagai pencapaian dalam hidup mereka, dirayakan oleh semua orang. Sementara aku duduk sendiri di kamarku. Saat itu, aku telah menyiapkan sebuat tulisan mengenai kesedihanku yang bisa saja ku post, post yang akan menghilang keesokan harinya. Namun pada akhirnya aku memutuskan untuk berhenti mem-follow mereka. Aku berharap aku akan merasa lebih baik tanpa update mereka di timeline-ku.
Pada tahun berikutnya, aku ingat lagi-lagi aku melihat timeline Instagram tanpa tujuan. Aku melihat postingan orang-orang dengan baju baru mereka. Merka telah jalan-jalan ke suatu tempat baru dan mengambil foto gedung-gedung simetris nan indah. Ada juga teman-teman yang pergi ke acara popular. Teman-teman SMA-ku menghabiskan waktu dengan teman-teman mereka, dengan menggunakan baju yang bertema, dan sambil makan di sebuah restoran mewah. Semua post-post tersebut memiliki atmosfer positif, dan di-caption dengan kata-kata bijak ataupun quotes bagus. Aku tidak sama sekali membenci postingan-postingan itu. Namun aku mulai memiliki banyak sekali pertanyaan di benakku
Bagaimana hidupku bisa disandingkan dengan postingan-postingan ini? Apakah ada sesuatu yang salah dengan hidupku? Mengapa hidupku tidak terlihat semenyenangkan hidup mereka? Mengapa aku duduk sendiri dengan pajama di rumah saat teman-temanku menunjukkan video jalan-jalan mereka? Apakah mereka tidak memiliki bad day sepertiku?
Rasanya seperti ada kereta yang mengejarku untuk menghancurkan caraku melihat hidupku sendiri. Dan post-post instagram itu mempercepat laju kereta itu. Namun aku tidak mau tertabrak. Jika platform ini diciptakan untuk membagi kebahagiaan dan untuk memenuhi kebutuhan orang atas foto yang simetris nan indah, mengapa bagiku rasanya berbeda? Aku terperangkap dengan kebutuhan untuk terus menerus men-check media sosial, namu aku tidak menemukan sesuatu yang berarti. Aku harus memitigasi efek dari media sosial.
Maka saat itu aku membuat sebuah keputusan yang tidak biasa: aku mengambil langkah untuk perlahan berhenti menggunakannya. Aku log out dari akunku. Lalu aku mematikan aplikasi tersebut dari smartphone-ku. Aku membuat cara agar susah untuku meng-akses media sosial itu karena aku selalu tertarik untuk kembali masuk ke timeline.
Setelah itu, aku menemukan bahwa banyak orang selain diriku yang juga telah memikirkan mengenai efek dari penggunaan media sosial. Aku menemukan TED Talk yang mengantarkanku pada banyak pesan-pesan yang sama, yang kurasakan tidak hanya milikku saja. Media sosial, atau instagram untuku, telah membawa perubahan pada masyarakat. Dialog dalam diri, seperti yang terjadi padaku, terjadi pada semua orang. Orang memang sering mencek smartphone mereka untuk menemukan sesuatu yang dapat menyenangkan mereka, kapanpun mereka mau. Loves, Likes dan komentar yang mereka terima bekerja sebagai mata uang. Hargaku, hargamu, sepertinya berada di dalam banyaknya loves, likes atau komentar yang kita terima dari orang lain .
Aku belajar bahwa ternyata orang pada umur tertentu yang memiliki penggunaan media sosial tinggi, lebih mudah mengalami depresi, stress dan kegelisahan. Media sosial ternyata dapat memberikan penghargaan dan kesenangan, namun di saat yang sama ia juga terkait dengan kesehatan mental. Data-data ini tidak terlihat baik dan aku sudah sebegitu dekat dalam menghancurkan kesehatan mentalku sendiri.
Sudah setahun semenjak aku keluar dari akun instagramku. Monolog di dalam diriku telah berkurang secara dramatis. Sekarang rasanya aku memiliki waktu tambahan untuk memikirkan hidupku sendiri. Kehidupan sehari-hariku tidak lagi mengenai respons diri terhadap momen-momen yang ada di dunia virtual. Apakah pengalamanku bahagia ataupun sedih, aku bertahan pada pengalamanku. Aku tetap mengambil foto saat aku traveling. Namun aku tidak lagi meluangkan waktu khusus untuk duduk, mencari filter dan memikirkan caption yang tepat untuk menunjukkan kebahagiaanku.
Aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu tersebut untuk menikmati perjalanan itu dan meresapi kebahagiaannya. Mungkin tindakanku ini terlihat aneh, namun apa yang sesungguhnya telah hilang? Kelebihan yang kuterima dari media sosial tidak lagi menarik. Aku tidak lagi khawatir keitnggalan berita atau momen dari teman. Banyak yang bertanya kenapa aku melakukan apa yang kulakukan, namun tidak semua bisa mengerti. Aku hanya tahu bahwa apa yang kualami selalu valid terlepas dari virtual loves yang kuterima.
Perasaan dan pengalaman yang kualami menjadi lebih dalam karena aku tidak lagi harus memikirkan mengenai filter apa yang harus kugunakan ataupun caption apa yang harus kutuliskan.
Penulis dalam Bahasa Inggris : Cinintya Putri
Penerjemah : Asih
Editor : Ala