top of page
  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon

Jadi Kapan Saya Pensiun?

Sejak kecil, Ibu saya selalu berpesan: pertama, wanita harus independen secara keuangan, dan kedua, jangan sampai berhenti bekerja.

Cita-cita saya sendiri? Menjadi desainer grafis dan pensiun di usia 30.

Ayu dan keluarga di Easter Island

Lepas SMA, saya terdampar di jurusan Bisnis di Singapura, yang sebetulnya bukan pilihan pertama (but beggars can’t be choosers!). Saya lulus di usia 21 tahun dan lalu bekerja di Singapura, di sebuah firma asing tempat perusahaan besar berkonsultasi mengenai strategi pemasaran mereka. Perpaduan antara kehidupan korporasi yang menekan, masa muda labil penuh gejolak, serta kapasitas otak yang tidak mencukupi adalah resep kehancuran: setelah dua tabun bekerja, saya lantas ogah untuk meneruskan. Saya lalu memutuskan untuk bertolak ke Jepang demi melanjutkan pendidikan tingkat Master dengan alasan pencarian jati diri di dalam hati; dan kesempatan kedua untuk mendalami desain grafis di dalam kepala.

Selama studi Master di Jepang, saya tertarik dengan bidang International Development, yaitu bidang ilmu multidisplin dengan tujuan utama memajukan penghidupan negara-negara yang kurang makmur. Kemudian saya diterima di program Doktoral di Tokyo, di Graduate School of Frontier Sciences. Penelitian saya sendiri tentang uji coba terkontrol secara acak (Randomized-controlled Trial) menggunakan jaringan sosial para petani di Ethiopia dan Indonesia, untuk meningkatkan produksi dan taraf hidupnya. Penelitian lapangan dilakukan selama masing-masing 2 dan 3 tahun secara berurutan, dan melibatkan 300-400 petani tiap tahunnya. Pada saat yang bersamaan, saya dipertemukan dan menikah dengan suami saya yang seorang astronom. Gambaran kehidupan pernikahan sebelum hadirnya anak adalah seperti fungsi maksimal, yaitu merupakan saat terbaik dalam hidup saya.

Di tahun terakhir pendidikan Doctoral saya, saya mendapati bahwa saya akan menjadi seorang Ibu. Di saat yang bersamaan, suami sudah lulus dan mendapat fellowship di Chile (Amerika Selatan.red) yang merupakan surganya para astronom karena banyak negara menanamkan teleskop canggihnya di sana. Suami saya berangkat ke Chile saat usia kandungan 7 bulan. Di saat yang sama pula saya harus melanjutkan studi lapangan tahunan selama hampir 2 bulan di perkebunan Lampung, karena hasil penelitian beberapa mahasiswa dan Profesor bergantung kepada pengambilan data saya. Walaupun saya bersyukur karena dibantu oleh beberapa teman, petugas, dan petani di dalam melakukan penelitian di lapangan, ternyata grup penelitian saya yang mayoritas orang Jepang tidak merasakan hal yang sama. Mereka menuntut hasil kerja yang sama dari saya seperti jika saya bekerja saat tidak hamil. Saya menyelesaikan semua kewajiban kepada tim H-10 sebelum hari kelahiran. Saat yang sama, suami mendapat visa satu bulan untuk menemani.

Proses persalinan berjalan normal. Dua minggu setelah melahirkan, suami kembali ke Chile dan saya tancap gas mempersiapkan presentasi di New Zealand. Saya beruntung ditemani Ibu yang datang dari Indonesia untuk bantu menjaga anak saya. Saat saya kesulitan mengurus bayi baru lahir sendirian di Jepang, sebuah tawaran bekerja di Jakarta datang. Artinya, saya bisa tinggal di Jakarta sambil bekerja, dan bisa istirahat sementara dari studi Doktoral. Sayangnya, pembimbing tidak terlalu senang. Secara halus saya diminta mengundurkan diri dari program, kecuali bersedia membantu beliau dalam beberapa projek beliau, projek mahasiswa, dan melanjutkan penelitian saya pada saat yang bersamaan. Ini tidak mungkin, mengingat saya cuma satu dan satu hari hanya 24 jam. Saat itu saya berpikir, tak peduli seberapa besarnya usaha, tetap saja tidak bisa melakukan salah satu saja kewajiban saya dengan baik dan benar. Ditambah lagi karena saya sendirian, timbul perasaan bahwa saya bukan seorang peneliti dan pekerja yang mumpuni, dan juga bukan ibu yang baik. Rasanya saat itu saya bisa mengerti kenapa ada wanita yang memilih sibuk dengan dirinya dan menolak meninggalkan emisi karbon lebih (i.e. dengan tidak memiliki keturunan).

Singkat cerita, saya ogah mundur dari program (enak saja!). Saya meminta pergantian pembimbing, proses yang sangat sulit namun dapat diatasi. Kemudian bolak-balik Jakarta-Tokyo hampir tiap bulan untuk laporan hasil penelitian sambil tetap bekerja di Jakarta. Saat anak berusia 1,5 tahun, saya baru berani membawanya ke Jepang untuk menemani saya melanjutkan studi sendirian, sementara dengan berat hati pekerjaan di Jakarta ditinggalkan. Beberapa kali suami menemani di Jepang dengan menjadi seorang peneliti tamu, dan beberapa kali juga saya sempat tinggal di Chile. Studi saya selesai dalam waktu 5 tahun saat saya berusia 30 tahun. Akhirnya kami bertiga dapat berkumpul kembali, walau dengan akun bank yang kebakaran, separuh kewarasan, dan beberapa lembar uban dan garis keriput. Sekarangkah saatnya pensiun seperti di cita-cita awal?

Ayu saat kelulusan bersama suami dan anak

Sekarang saya berdomisili di Finlandia, menemani suami dalam tugasnya sebagai peneliti di FINCA (Finnish Centre for Astronomy with ESO). Saya sedang menjalani kursus intensif Bahasa Finlandia (Finnish), sambil mengerjakan beberapa proyek di universitas lokal, di antaranya tentang pemberdayaan perempuan di Zambia dan Circular Economy. Pengalaman menjadi Ibu, ditambah dengan pengalaman berinteraksi dan bekerja di dua kultur yang berbeda, yaitu Jepang dan Finlandia, telah merubah cara pandang saya terhadap etos kerja wanita. Awalnya, saya masih sulit menerima bahwa ada jurang yang begitu besar antara peran laki-laki dan perempuan, yang makin jelas terlihat setelah memiliki anak. Namun, bahkan di Finlandia yang persamaan gender-nya nomor satu di dunia, dimana wanita dan pria sama-sama berkontribusi 50:50 dalam keuangan rumah tangga, tetap saja tidak bisa lepas 100% dari bias gender. Tapi sekarang, pengalaman kerja dan sekolah tempo hari membuat saya berpikir bagaimana caranya untuk wanita agar dapat menancapkan kuku lebih kencang di dunia kerja.

  1. Tegas.

Kebanyakan wanita, terutama saya, ketika diberi suatu tanggung jawab dalam pekerjaan, akan terlihat berpikir sebentar sebelum berkata “Ok, saya usahakan secepatnya,” dibandingkan dengan kaum pria yang langsung mengambil tanggung jawab dengan singkat “Ok,” Secara tidak langsung, atasan mungkin akan berpikir kalau wanita tidak tegas, yang berakibat juga mengesankan bahwa saya kurang mampu dibandingkan kolega pria.

2. Clean your own mess, like, really.

Dulu saat saya masih single, saya sering mengutuki ibu-ibu bekerja yang pulang lebih dulu dari kami-kami yang jomblo dengan alasan keluarga dan anak. Belum lagi ketika anak mereka sakit atau ada liburan sekolah, mereka akan izin tidak bekerja dan lagi-lagi kaum jomblo yang mengambil alih tugasnya. Jika demikian, bagaimana tempat kerja mau memperjuangkan nasib ibu-ibu ini kalau produktivitasnya saja tidak sebanding dengan non ibu-ibu? Tapi mari lihatlah kaum ibu-ibu yang diperjuangkan oleh perusahaan, mereka datang lebih pagi dari pekerja lain, dan pulang lebih awal untuk mendampingi anak-anaknya. Namun ketika anak-anak sudah istirahat, mereka akan lanjutkan bekerja di rumah agar memiliki produktivitas yang sama dengan non-ibu. Saya pikir, sebelum saya mempertanyakan tentang gender, saya harus berpikir ulang mengenai produktivitas saya dibandingkan dengan yang lainnya. Dan ini mungkin kesalahan saya di masa lalu, tidak menjaga produktivitas dengan konstan sebelum dan sesudah memiliki anak.

3. Use and Abuse!

Di balik itu semua, wanita di tempat kerja kebanyakan selalu dimaklumi untuk tidak mengerjakan pekerjaan seberat kolega pria. Jika ada business trip atau jam kerja yang panjang, kemungkinan besar kolega pria akan menawarkan kolega wanita untuk pulang lebih dahulu, atau untuk bertukar tugas supaya si pria mengambil alih pekerjaan yang lebih berat. Tidak usah merasa tidak enak, use and abuse! Mungkin inilah salah satu berkah jadi wanita di tempat kerja, sering mendapat privilege lebih. Jangan lupa untuk selalu tampil rapi, wangi, dan cantik, karena menurut studi, wanita yang berpenampilan menarik cenderung memiliki keuntungan yang lebih banyak di tempat kerja. (Iya, cantik itu relatif dan jelek itu absolut, tapi variable atraktif kan diluar skala jelek dan cantik!)

Ayu yang tidak lupa tampil rapi, wangi, dan cantik bersama keluarga tercinta.

Saya sering laporan dan protes pada Ibu, bukannya tidak mau berbakti menuruti pesan beliau, tapi, ‘Hadeh, independen hari gini susah, capek tau!’, yang selalu dijawab balik sama si Ibu ‘Hadeh, malu sama Ibu-ibu lain di Zambia, hadeh.

Sepertinya Ibu benar juga, gak usah lebay jadi Ibu-ibu. Di luar sana banyak juga Ibu-ibu berjuang dan bekerja bertani, beternak, menimba air, dan menjadi buruh.

Mimpi boleh berevolusi, saya juga. Tampaknya pensiun di umur 30 tidak seindah kenyataannya. Lalu apa mimpi saya yang sekarang? Menjadi desainer grafis dan pensiun di usia 40.

***

Penulis : Ayu Pratiwi

Editor : Asih


Related Posts

See All

Cerita Senapas

Kategori Cerita

Cerita Terbaru

bottom of page